Jika kita kembali pada sistem kehidupan feodal sebagaimana penulis sampaikan diatas maka setia itu tergolong cukup lemah. Karena kesetiaannya itu masih dalam kualitas sebagaimana kerbau yang diperintah kekiri dan kekanan oleh pemiliknya ketika membajak sawah. Kemudian pemilik memberinya makan dan minum yang cukup sebagai kompensasi kesetiaan kerbau tersebut. Model kesetiaan ini dalam kehidupan manusia pada abad-abad yang lalu dijuluki budak yang juga pada waktunya diperjual belikan.
Sementara dikalangan masyarakat yang terbuka dan memiliki wawasan serta pengetahuan yang setara menganggap tidak mungkin ada setia ketika seseorang tidak cukup wawasannya dalam konteks tertentu. Misalnya dalam konteks organisasi, kesetiaan anggota itu sesungguhnya seperti apa?
Mereka yang memahami organisasi dan paham demokrasi yang sesungguhnya maka kesetiaan itu ketika ia sejalan dengan aturan organisasi, sementara faktor dukung mendukung atau kesetiaan kawan dalam organisasi itu adalah tidak lebih sebagai bahagian dari sentimen yang dikendalikan oleh emosional. Sementara mereka yang berwawasan sempit kesetiaan itu bisa saja dalam ruang tunduk dan patuh kepada seseorang yang dianggap pemimpin meski sipemimpin itu tidak dalam posisi sebagai pemimpin yang sesungguhnya karena ia tidak mengawal aturan organisasi yang merupakan kewajiban utamanya.
Dengan kondisi demikian dalam organisasi sehingga ruang demokrasi yang menjadi faktor pengikat anggota organisasi menjadi nisbi dan terdegradasi dengan sikap pemimpin dan anggota itu sendiri yang hanya membawa organisasi sesuai kepentingannya secara subyektif. Padahal organisasi adalah milik semua anggota yang terhimpun di dalamnya.
Oleh karena itu, seumpama organisasi partai politik di masyarakat yang duluan lebih maju menjaga hak-haknya dengan sejumlah kewajiban bahkan mereka meminta membayar uang iuran untuk organisasi politiknya dan mereka menganggap iuran itu sebagai alat untuk membangun kesetaraan dalam organisasi. Mereka memahami hak politiknya lebih penting dari segalanya karena organisasi politik itu adalah hak politiknya anggota dan rakyat banyak.
Jika kita menganggap hal ini sebagai beelebihan maka disitulah indikator pemikiran kita lemah dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan partai politik kita belum cukup kapasitas dan kualitas untuk dapat  disebut sebagai wadah politik yang sesungguhnya.
Lalu, kita menyepelekan dengan kalimat bahwa hal itu di negeri orang yang sudah maju, lantas kita tanpa sadar sudah mengakui kualitas bangsa lain, sementara menganggap diri kita atau bangsa kita jauh tertinggal dan masih lama sampai pada kualitas tersebut.
Padahal yang berlaku di bangsa lain itu barulah hal yang standar dan normatif dalam partai politik. Berikutnya kita menganggap tidak masuk akal dan siapapun pemimpin partai yang nekat melakukannya maka mereka akan ditinggalkan rakyat pendukungnya.
Pertanyaan berikutnya muncul, bahwa jika hal seperti itu tidak ada yang mampu melakukannya karena bisa dianggap bukan sebagai pemimpin, karena menentang image sebagai pemimpin yang adil dan menentang populer karena biasanya pemimpin yang menanggulangi biaya organisasi politik. Lalu jika kita hubungkan dengan pembangunan kemandirian dan yang dipahami secara normatif maka belum ada di negeri kita yang mampu membangun organisasi politik dalam standar partisipasi masyarakat yang sesungguhnya.
Dengan kajian demikian maka ada kesimpulan bagi kita bahwa yang dibangun dengan partai politik itu adalah mentalitas pemimpin kapitalis. Dengan kata lain masyarakat Indonesia mendukung pembangunan dan kekuasaan kapitalizem di negerinya.
Permasalahan berikutnya adalah jika kita pantau kerjasama lintas masyarakat yang kerjasamanya melibatkan lebih dari satu orang warga maka seringkali kita temui perpecahan, bahkan ketika awal membuat perusahaan dengan dua atau tiga orang, kemudian biasanya hanya dikuasai satu orang saja.