Oleh : Tarmidinsyah Abubakar
Kehidupan sosial disetiap tingkatan pada masyarakat di negara-negara mengutamakan konsep dan manajemen hidup dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain untuk kehidupan yang teratur mereka sebahagian besar menggunakan manajemen dalam sistem kehidupannya.
Sebenarnya hal ini bagi mereka yang kurang mengetahui esensi dari konsep dan menejemen hidup ini mereka menganggapnya sepele. Padahal secara garis besar arus pecah belah ditengah masyarakat akibat ketiadaan manajemen yang mandiri sebagai alat pendekatan.
Pada masyarakat timur budaya dan agama menjadi petunjuk operatif dalam kehidupan sehari-hari. Padahal Budaya dan agama membutuhkan kecerdasan manusianya untuk membuat konsep dibawahnya sebagaimana konstitusi dan UU dalam bernegara yang kemudian pada tataran dibawahnya diperlukan peraturan daerah dan lainnya yang mengarahkan sistem kehidupan yang lebih mendetil. Berikut dibutuh personal warga rakyat yang memiliki integritas dan ketegasan sikap dalam kehidupannya, apalagi ketika ia membuat komitmen dengan warga lainnya.
Tidak sulit kita temukan orang-orang yang mengucapkan Insya Allah yang miring ke negatif, misalnya diharap bisa melakukan secara konsisten tapi seringkali  dalam hidup kita mengorbankan kata Insya Allah sebagai tameng atau dalih untuk menolak.
Dengan konsep hidup silaturrahmi sesama warga dapat meminimalisir kesalahpahaman dan perseteruan yang menimbulkan rasa saling tidak percaya dan pecah belah kondisi sosial. Kenapa demikian?
Tentu saja karena masing-masing orang tingkat wawasan dan pengetahuannya berbeda-beda. Hal ini bisa di uji pada masyarakat, sebagai contoh ketika kita bergaul dengan masyarakat di daerah satu dengan daerah lain, atau dari salah satu keluarga dengan keluarga yang lain pasti terjadi perbedaan cara pandang terhadap sesuatu masalah. Untuk hal yang kecil sekalipun, misalnya dalam memahami makna kata saja akan terdapat perbedaan, apalagi kita mengkaji dalam soalan kalimat yang bermacam makna, sindiran, hujat, mengejek langsung dan sebagainya.
Satu kata, misalnya kata "setia" saja bisa menimbulkan salah penafsiran, karena hal itu sangat tergantung pada budaya dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat dan lingkungannya.
Bagi masyarakat yang terbiasa dalam sistem kehidupan feodal sudah pasti menganggap setia adalah seseorang yang tunduk patuh pada orang lainnya yang memberi komando atau jika dalam pergaulan dianggap saling bersama dan mendampingi orang lain secara konsisten dalam waktu yang lama.
Sementara kata setia pada masyarakat lainnya bisa berbeda maknanya, ketika berada diantara mereka yang hidupnya lebih produktif dan terbuka serta memiliki wawasan serta pengetahuan yang lebih luas. Sebagaimana dalam politik, seorang anggota dewan itu disebut setia ketika ia mampu mempertahan sikapnya untuk senantiasa konsisten sebagai wakil rakyat dan berjuang mencapai celah pensejahteraan rakyat.Â
Kemudian ketika rakyat menghadapi posisinya yang lemah dalam negara maka dewan itulah yang harus menjadi perpanjangan lidahnya, bukan dalam komunikasinya untuk hal-hal konspiratif.