Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Biaya Pendidikan di Daerah Berandil Miskinkan Rakyat, Biaya Pembangunan dan Seragam Lebay Kebijakan Bisnis

16 November 2020   21:04 Diperbarui: 16 November 2020   21:14 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Tarmidinsyah Abubakar

Pemerintah perlu melakukan berbagai evaluasi terhadap sistem pendidikan, agar tidak membawa dampak penderitaan kehidupan rakyat di daerah-daerah. Meski klaim-klaim pemerintah bahwa biaya pendidikan masyarakat di Indonesia gratis, namun realitanya perlu mendapat pantaun secara langsung. 

Biaya pendidikan sekolah ini dirasakan berat oleh masyarakat mulai dari TK hingga Perguruan Tinggi. Kita sering mendapat keluhan dari masyarakat tentang kegelisahan mereka menghadapi pembayaran biaya pendidikan anaknya. Apalagi pada sekolah-sekolah tinggi kejuruan yang sering lepas dari pantauan publik karena image eksklusif serta terbatasnya pengetahuan masyarakat tentang spesfikasi bidang pendidikannya.

Penulis menyampaikan hal ini sesbagaimana perspektif masyarakat kalangan menengah bawah yang berada di daerah-daerah. 

Berikutnya sekolah yang berbasis agama sebagaimana dayah juga biayanya melebihi dari standar biaya pendidikan umum, apalagi yang menggunakan sistem harus menetap di asrama pendidikan dimaksud.

Biaya masuk sekolah setingkat SLTP bisa mencapai Puluhan Juta Rupiah, karena dinggap sebagai tempat pendidikan yang layak, maka para orang tua yang sebahagian besar menginginkan anak-anaknya terdidik secara baik untuk masa depannya maka mereka akan melakukan segala cara, menjual tanah, kebun, rumah atau benda lain untuk memenuhi tuntutan itu.

Fenomena ini dapat dipantau dalam kehidupan masyarakat umum di daerah-daerah, jika klaim biaya pendidikan diayakini sudah gratis, mungkin saja dalam biaya bulanan. Tetapi biaya lain-lain misalnya pembangunan ketika masuk, biaya pakaian dsn peralatan sekolah yang juga seringkali diberlakukan secara sepihak. Kemudian ditambah biaya-biaya kegiatan kemahasiswaan diawal yang menyebabkan bertambah menumpuk besaran beban yang harus ditanggulangi oleh orang tua mereka.

Melihat kondisi sosial ekonomi dan nilai Rupiah sekarang sepertinya kondisi ekonomi dalam kehidupan masyarakat secara nyata sangat melarat. Apalagi kegiatan usaha mereka sejak covid 19 juga mengalami kelesuan. 

Coba bayangkan realitas kondisi uang Rupiah saat ini dengan masa lalu, dimana uang 1 juta sekarang terlihat dengan nominal seakan masih besar sebagaimana masa lalu. Tetapi bayangkanlah ketika uang itu kita belanja untuk beberapa kebutuhan dapur saja sudah berat bagi masyarakat. 

Penulis tidak ingin menghitung berapa persen terjadi inflasi dalam keberadaan mata uang kita, karena ada stakeholder yang lebih bertanggung jawab. Namun nilai mata uang ini perlu penulis sebutkan sebagai masalah utamanya. Tetapi bagaimana nuasa masyarakat merasakan beban yang parah dalam kehidupannya.

Pemerintah tidak perlu berbangga dengan sistem pembagian uang tunai Rp. 600 ribu per kepala keluarga. Karena uang sebesar itu hanya cukup untuk mereka bayar biaya gas. listriknya dan air selama sebulan belum termasuk biaya makan yang layak. Sementara untuk memenuhi kebutuhan primernya saat ini setiap kepala keluarga standarnya membutuhkan uang mencapai angka Rp. 4 juta sampai dengan 5 juta Rupiah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun