Oleh : Tarmidinsyah Abubakar
Memaknai demokrasi bagi masyarakat Indonesia dengan kata mungkin saja terlalu mudah. Karena selama ini kita dapat melihat indikator-indikator itu dalam penyelesaian konflik di daerah oleh pemerintah pusat.
Sebagai contoh, ketika paska reformasi ada sejumlah tuntutan daerah-daerah begitu kuat terhadap penerapan desentralisasi status daerah terutama dalam soal pola hubungan antara pusat dan daerah.
Tuntutan yang sangat represif itu berdatangan terutama dari daerah-daerah provinsi yang letaknya diluar pulau jawa. Tentu daerah tersebut bagi kalangan masyarakat yang terlibat dalam politik mengetahui itu kira-kira beberapa provinsi yang memiliki alat perjuangan masyarakatnya.
Misalnya Aceh, Papua, Maluku, Bali, Riau dan provinsi lainnya mengalami juga hal yang sama meski tidak sekuat tuntutan masyarakat di daerah yang penulis sebutkan. Namun ada juga provinsi yang menuntut kekhususan di pulau jawa, seperti yogyakarta.
Lantas apa yang dilakukan oleh pemerintah pusat kala itu? Yakni memberi daerah-daerah yang kuat tuntutannya tentang Status Otonomi Khusus (SOK) atau Daerah Istimewa (DI) atau terminology lain yang bisa diterima oleh tokoh politik serta tokoh masyarakatnya.
Pergantian nama provinsi sesuai dengan nama daerah juga sebagai solusi yang pernah ditabalkan kepada provinsi Aceh, misalnya dari nama Daerah Istimewa Aceh menjadi Nanggroe Aceh Darussalam kemudian berubah kembali menjadi Aceh hingga sekarang setelah Status Otonomi Khusus (SOK)
Sistem politik pemerintah ini yang disebut sebagai simbolik, apabila tidak diikuti dengan sejumlah kebijakan yang menyertainya. Dalam bahasa awam bisa disebut Bungkusan Politik. Tetapi isi dari bungkusan itu masih dalam tanda tanya. Karena masyarakat sebahagian besar hanya bisa melihat secara kasat mata tentang politik pemerintah.
Pada tataran tersebut kebijakan pemerintah Indonesia dapat dikatagorikan telah memenuhi prinsip demokrasi karena memberi respon dan memiliki solusi terhadap tuntutan politik masyarakat daerah provinsi. Itupun apabila negara lain yang menilai ketika hanya melihat indikator politik dari luar.
Lalu, kenapa di era sekarang tuntutan daerah terhadap desentralisasi menjadi lemah, dan para tokoh daerah dan dipusat cenderung diam? Apakah akibat lemahnya masyarakat dalam demokrasi. Hal ini tentu saja perlu dikaji jika tidak ingin menyimpulkan dengan teori politik.
Ada Teori Politik Kebisuan Spiral yang menyatakan bahwa masyarakat akan cenderung diam dan cenderung bertambah besar sebagaimana sebuah spiral yang semakin besar bibirnya sementara pusatnya justru akan mengecil. Jika kepemimpinan itu keras dan tidak mempedulikan partisipasi rakyat pada waktunya tiba setelah cukup kuat tentu saja akan dikepung oleh masyarakat itu sendiri.