Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tjoet Nyak Dhien, Tjoet Meutia, dan Keumalahayati, Bukti Emansipasi dan Kemajuan Aceh

25 Oktober 2020   08:16 Diperbarui: 25 Oktober 2020   09:20 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendengar nama Tjoet Nyak Dhien, Tjoet Meutia dan Laksamana Keumalahayati yang terbersit dipikiran kita dimasa kini adalah suatu image tentang keberanian masyarakat dan kiprah perempuan perempuan Aceh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945.

Meski mereka belum tahu tentang Republik Indonesia sebagaimana perempuan Aceh hari ini tetapi jiwa dan raganya telah dikorbankan sepenuhnya untuk membela tanah air atau bangsanya yang sekarang ini dimana anak cucunya hidup dalam negara bernama Republik Indonesia.

Begitupun bagi masyarakat Aceh,  jiwa dan raga perempuan-perempuan hebat itu telah ditanamkan kepada orang-orang yang hidup kemudian yang sebangsa dan setanah air dengannya.

Hingga kini nama ketiga pahlawan nasional ini memberi inspirasi yang sangat kuat tentang semangat  juang masyarakat Aceh dan bernilai ekstra bagi mereka perempuan-perempuan Aceh hingga sekarang bahkan dimasa depan.

Ringkasan Identitas, mengutip Wikipedia dan sumber lain, sebagai berikut :

1. Tjut Nyak Dhien, Kelahiran: 1848, Kabupaten Aceh Besar, Meninggal: 6 November 1908 di Sumedang. Suami : Ibrahim Lamnga, Teuku Umar dan Orang tua: Teuku Nanta Seutia.

Setelah suaminya Teuku Umar gugur, hal ini membuat Cut Nyak Dhien berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Usia Tjoet Nyak Dhien yang saat itu sudah relatif tua serta kondisi tubuh yang digrogoti berbagai penyakit, karena pengaruhnya masih sangat kuat dengan pejuang lain yang belum ditangkap akhirnya diasingkan ke Sumedang Jawa Barat.

2. Tjoet Nyak Meutia,

Kelahiran: 15 Februari 1870,
Lahir: 15 Februari 1870; Keureutoe,  Aceh Utara,
Meninggal: 24 Oktober 1910, Aceh
Suami : Teuku Syamsarif; Teuku Muhammad.

Setelah suaminya tewas, Tjoet Meutia kemudian bangkit dan terus melakukan perlawanan bersama sisa-sisa pasukannya. Ia menyerang dan merampas pos-pos kolonial sambil bergerak menuju Gayo melewati hutan belantara. 

Namun pada tanggal 24 Oktober 1910, Tjoet Meutia bersama pasukannya bentrok dengan Marechause di Alue Kurieng. Dalam pertempuran itu Tjoet Njak Meutia gugur.

 3. Laksamana Keumalahayati
Kelahiran: 1550 Kabupaten Aceh Besar, Meninggal: 1615,
Suami : Laksamana Zainal Abidin
Tempat pemakaman: Makam Laksamana Malahayati Aceh Besar.

Sejak kecil, Malahayati tidak terlalu suka bersolek. Ia lebih gemar berlatih ketangkasan yang kelak membawanya menuju cita-cita yang memang didambakannya, menjadi panglima perang. Bakat itu mengalir langsung dari ayah dan kakeknya yang pernah menjabat sebagai laksamana angkatan laut Kesultanan Aceh.

Dalam perspektif pembangunan masyarakat mengenal dan mempelajari sejarah ketiga pahlawan perempuan ini dapat menjadi indikator terhadap kepahaman masyarakat lainnya  terhadap kualitas sikap dan mentalitasnya dalam inspirasi membangun bangsa.

Keterlibatan perempuan Aceh dalam membangun kebangsaan sudah seharusnya menjadi suatu kewajiban agar mereka tidak tertinggal dengan gerakan perempuan Atjeh dimasa lalu yang kemungkinan besar sulit diulangi hingga dimasa depan.

Faktor Perbedaan

Tentu beberapa faktor yang sulit untuk menyamakan perempuan Aceh sekarang dengan perempuan Aceh masa lalu, diantaranya adalah :

Pertama, Era masa lalu kiprah manusia baik lelaki maupun perempuan diapresiasikan dalam semangat dan ranah peperangan politik dan phisik yang berkepanjangan.

Kedua, Era sekarang perang tidak hanya dalam kualifikasi perang phisik tetapi juga berbagai perspektif perang yang terkadang sebahagian besar masyarakat berada dalam ranah itu bahkan mereka sama sekali tidak memahaminya.

Ketiga, Budaya mempelajari sejarah dan budaya membaca pada masyarakat kita yang tergolong lemah sehingga menyebabkan wawasan yang terbatas dan akan sulit memahami dan mengapresias semangat perjuangan para pahlawannya.

Keempat, Situs-situs sejarah tidak maksimal terberdayakan sehingga masyarakat mengetahui perjuangan itu hanya dari telinga ke telinga disamping pelajaran sejarah yang terbatas ketika mereka berada di Sekolah Dasar.

Kelima, Perempuan Aceh dimasa lalu menjadi pahlawan dalam membela kesultanan yang pusat kekuasaanya sangat dekat, sementara perempuan sekarang dalam kapasitas masyarakat provinsi Aceh yang pusat kekuasaannya di Jakarta yang jangkauannya lebih jauh, meski darat, laut dan udaranya masih saja sama.

Emansiapasi atau Kesetaraan

Merujuk kepada sejarah perjuangan pahlawan perempuan Aceh yang memimpin melakukan perjuangan mempertahankan bangsa dan negaranya, dapat kita simpulkan bahwa sebahagian besar mereka adalah sebagai seorang istri dan ibu, tetapi mereka juga adalah pemimpin rakyat meski kepemimpinan itu merupakan pengalihan tanggung jawab setelah suaminya tewas dalam pertempuran.

Intinya perempuan-perempuan pahlawan tersebut merupakan para pendukung suami yang setia dalam ikatan yang berpunca kepada ajaran agama. Mungkin saja ideology perkawinan perempuan Aceh dimasa itu tidak sebatas "Cinta" sesama anak manusia tetapi lebih kepada cinta kepada penciptanya dan cinta kepada harga diri dan semangat kebangsaan.

Lalu, ketika kita ingin bicara tentang emansipasi wanita maka Aceh adalah tanah tempat lahir dan berjuangnya para pahlawan perempuan nasional itu yang tentunya mereka adalah pelaku-pelaku langsung dalam menerapkan emansipasi wanita di nusantara bahkan di Asia Tenggara.

Justru karena itu kita dapat  mengambil suatu kesimpulan bahwa perempuan hebat adalah perempuan yang bisa menjadi istri yang baik, mendukung perjuangan suaminya. 

Kemudian menjadi ibu yang baik dan mereka juga adalah para pejuang yang berani dan bersikap membela rakyat, bangsa dan negaranya meski resiko itu mengancam jiwa dan raganya.

Oleh karena itu, perlulah kita menganggap bahwa para tokoh masyarakat dijaman ini yang masih menolak pemimpin dari kalangan perempuan merupakan tokoh masyarakat sesat dalam ajaran sejarah dan sekaligus sesat dalam ajaran agamanya. 

Apalagi jika ini terjadi di Aceh maka jika masih ada daerah-daerah yang tokoh masyarakatnya bersikap demikian maka mereka dapat disebut para penjahat yang telah merendahkan para pahlawan nasional perempuan sekaligus telah merendahkan perempuan dimasa kini.

Pembangunan Salah Kaprah

Lalu bagaimana dengan perkembangan pembangunan perempuan di Indonesia dan Aceh saat ini yang merupakan zona lahirnya pejuang-pejuang perempuan tersebut?

Tentu saja, jika perempuan masih dominan dalam pembangunan daerahnya maka pembangunan itu dapat disebut sebagai pembangunan yang benar. Sebaliknya jika nominasi perempuan menjadi sangat minim maka pembangunan daerah dapat dianggap sebagai pembangunan salah kaprah.

Apalagi perempuan dimasa sekarang hanya sebatas dijadikan istri-istri para pejabat dan petinggi masyarakat sebatas kemapanan dan kesenangan hidup para lelaki tentu saja hal ini merupakan sesuatu yang kontra dalam konsep kesetaraan dan pemberdayaan perempuan.

Hal ini dapat menjadi indikator pembangunan manusia, apakah para pemimpin Indonesia dan Aceh dimasa kini tergolong sebagai pemimpin yang membawa pembangunan bangsa secara terarah atau sebaliknya para pemimpin justru melemahkan perempuan.

Disamping itu perempuan juga harus berusaha menjadi warga negara dan masyarakat mumpuni dalam dirinya, sehingga mereka tidak terlihat oleh pria sebatas cantik, seksi dan pemuas nafsu. 

Tetapi mereka adalah perempuan yang disamping feminim tetapi memiliki harga diri yang tinggi, memiliki ilmu dan wawasan yang tidak bisa dianggap semacam barang yang bisa diperjualbelikan oleh kaum lelaki.

Sekian
*****

Sumber gambar : Google

screenshot-20201025-002304-3-5f94e06e8ede4856d5022124.jpg
screenshot-20201025-002304-3-5f94e06e8ede4856d5022124.jpg
Gambar : Sumber Google

screenshot-20201025-002243-2-5f94dd7e8ede48243f6afda2.jpg
screenshot-20201025-002243-2-5f94dd7e8ede48243f6afda2.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun