Berbicara politik memang tidak habisnya, karena cakupannya begitu luas. Oleh karena itu politik itu lebih tepatnya adalah berbicara tentang perubahan sosial, sementara persoalan jabatan pemerintahan dan DPR adalah sebahagian kecil dari politik, bahkan tergolong bab Teknis dalam politik.
Justru karena itu pengelolaan partai politik dengan segala misinya justru lebih mengarah pada misi dan visi dalam perubahan sosial. Sehingga pemimpin partai dipusat dan daerah adalah mereka yang berpikir hal-hal yang lebih besar dalam politik yang berdampak pada perbaikan dan pencapain tahapan kehidupan rakyat yang lebih sejahtera.
Karena itulah pemimpin partai politik perlulah mereka yang mentalitasnya negarawan dan sekaligus mereka yang berwawasan dalam perubahan sosial. Jika tidak memiliki wawasan luas yang demikian maka yang dilakukan oleh ketua partai politik adalah sebatas manajemen pengaturan jabatan dan rawan konflik kepentingan dengan kader yang dpr dan berjabatan dalam pemerintahan.
Untuk itulah maka ketua partai politik baik di daerah maupun di pusat menuntut sikap dan mental yang amanah dan jujur, sehingga apa yang dilakukannya menjadi payung dan arah bagi kader dan sikap kader, simpatisan serta tokoh masyarakat.
Ketika seorang pemimpin partai mampu menunjukkan pemikiran dan menggambarkan harapan masyarakat maka partai tersebut akan mendapat simpatisan besar dari masyarakat dengan sendirinya hal itu akan menjadi pendidikan politik sosial dan menjadi standar wawasan sosial yang normatif.
Sehingga masyarakat memiliki role dalam memandang arah perjuangan politik bagi kepentingan mereka, dan tentu yang partai yang prilakunya diluar batas role tersebut akan dianggap bertentangan dengan harapan masyarakat. Dengan kondisi itu maka partai-partai politik tidak akan melakukan sesuatu yang melanggar dan mengkhianati kewajaran dalam politik.
Tetapi bila hal ini tidak ada yang melakukan dalam politik, tidak ada suatu standar yang normatif maka dunia politik pasti menjadi centang perenang dan amburadul. Apalagi di daerah yang perpolitikannya bobrok secara mental dan moral.
Berdasarkan gambaran diatas maka partai politik di daerah seringkali mengalami stagnasi, sehingga ada kalanya masyarakat menjadi apatis. Karena siapapun yang mereka percaya dan pilih hasilnya sama saja selalu mengkhianati konstituennya, ahirnya mereka memilih dalam ketidakpeduliannya sesuka hatinya atau yang memberikan mereka uang.
Kenapa demikian? Tentu saja karena mereka tidak paham lagi siapa yang bisa mereka percaya, dan menganggap kemampuan mereka sama saja dan akhirnya masyarakat hanya mampu memilih sebatas orang baik budi dan orang tidak baik, kemudian bergeser pada pilihan orang yang alim atau tidak alim, itupun masih belum sempurna dalam menilai mereka.
Pada tahapan ini muncul pertanyaan, apakah rakyat sudah melek dalam politik? Silakan dijawab dalam hati yang paling dalam.
Lalu bagaimana melahirkan pemimpin baru yang menjadi harapan baru masyarakat ditengah ketidakpercayaan sosial dalam politik. Disinilah dibutuhkan media atau alat sebagaimana partai politik. Idealnya partai politiklah alat yang  paling berpotensi melakukan itu.
Bagaimana caranya? Tentunya partai yang melahirkan keputusan terbalik dengan kondisi sosial politik saat itu. Keputusan itu bisa melahirkan langsung orangnya atau melahirkan jawaban atas tuntutan sosial yang tidak mampu dibaca oleh kader politik biasa-biasa saja.
Misalnya dalam keadaan normatif sikap-sikap partai politik berjalan sebagaimana biasa namun ada partai politik yang melahirkan solusi-solusi perbaikan sosial tentunya akan menjadi sesuatu yang langka atau scarcity dalam terminology ekonomi.
Tentu saja hal ini akan dinilai lebih berharga dan akan membangun kepercayaan sosial yang jauh lebih tinggi terhadap partai politik tersebut atau pimpinan partai tersebut.
Lalu dimana timing yang cocok? Pada musyawarah partai politik yang melakukan evaluasi dan membuat perubahan fundamental dalam keputusannya. Kemudian melahirkan ketuanya yang baru yang lebih berkualitas dan memahami harapan masyarakat dimana sebelumnya hanya datar-datar saja.
Pemimpin baru itulah kemudian menjadi harapan kepercayaan baru sehingga ia bisa menjadi pemimpin masyarakat yang baru yang dipundaknya adalah harapan sosial untuk perubahan. Karena itu perubahan dalam politik itu bukan sebatas mengganti orang baru tetapi lebih dari itu bahwa orang baru tersebut yang dipercaya bisa melakukan perubahan untuk perbaikan hidup rakyat.
Justru karena itulah politik dan partai politik berbeda dengan dunia birokrasi dalam promosi pemimpinnya. Dalam dunia birokrasi menggunakan pangkat dan referensi jabatan secara beringkat.
Karena itu politik mengenal bahwa orang dalam penjara jadi gubernur dan bupati, sementara yang berjabatan wakil gubernur dan wakil bupati justru  masuk penjara dan tidak pernah menjadi gubernur atau bupati. Lalu siapa yang menjadi gubernur? Mereka yang belum dalam sistem jabatan pemerintahan.
Hal itu juga terjadi dalam pemilihan presiden, lihatlah paska kepemimpinan presiden SBY maka lahirlah pemimpin baru dan sosok harapan baru yakni Jokowi. Jika politik sebagaimana birokrasi maka seharusnya yang menjadi presiden itu Yusuf Kala atau Hatta Rajasa.
Demikian semoga bermanfaat
Salam