Ketiga,
Pendidikan feodalisme:
Pendidikan feodalisme mengacu pada sistem pendidikan yang hierarkis dan menekankan kepatuhan pada otoritas. Dengan membatasi ruang komentar, media dapat memperkuat sistem pendidikan semacam ini dengan membatasi akses masyarakat pada informasi dan perspektif yang berbeda.
Namun, perlu diingat bahwa korelasi tidak selalu berarti kausalitas. Meskipun ada korelasi antara media tanpa komentar dan praktik otoritarian, tidak serta merta semua media yang tidak menyediakan ruang komentar mendukung kepemimpinan otoritarian.
Inilah celah untuk menghalalkan media tanpa komentar atau masih ada landasan sebagai dalih untuk keberadaan partisipasi publik pada media bersangkutan.
Pada dasarnya itu hanya menjadi salah satu faktor yang memberi sinyal bahwa media dengan model tersebut sebagai media yang mendukung kepemimpinan otoritarian dan perawat feodalisme sosial.
Memang ada saja alasan yang dapat diberikan oleh pimpinan media tersebut, Â mengapa media mungkin memilih untuk tidak menyediakan ruang komentar antara lain:
Pertama,
Mencegah penyebaran hoaks dan ujaran kebencian:
Banyak platform media sosial telah mengalami kesulitan dalam mengelola komentar yang berisi informasi palsu, ujaran kebencian, dan ancaman. Untuk menjaga kualitas diskusi dan melindungi pengguna, beberapa platform memilih untuk membatasi atau menghilangkan fitur komentar.
Kedua,
Fokus pada konten berkualitas:
Beberapa media mungkin memilih untuk lebih fokus pada penyediaan konten berkualitas daripada mengelola diskusi di kolom komentar.
Ketiga,
Pertimbangan teknis dan sumber daya: