Mungkin dalam hati anda semua punya perasaan yang mengganggu dan mengusik ketika ada orang yang berbicara tak senonoh atau tanpa ada batasan kesopanan selama ini dalam tayangan medsos semakin berkembang.
Karena anda sebagai warga masyarakat timur sejak lahir sudah diperkenalkan dengan cara hidup (role off life) yang teratur, mulai dari ditimang, diturunkan tanah, diayunan dengan kalimat-kalimat religius. Tentu sudah menjadi standar hidup semua orang dalam kondisi normal.
Kecuali ada situasi yang luar biasa atau abnormal dimana anda dilahirkan sebagai warga masyarakat yang tidak melalui proses budaya dan kebiasaan keluarga.
Misal dari hasil perkawinan lari, dari hasil perkawinan tanpa nikah, dari hasil perkawinan yang terlarang dan sebagainya.
Tetapi sebahagian besar dari kita memahami suatu etika hidup yang merupakan kebiasaan dalam adat dan budaya hidup normatif atau tuntutan yang seharusnya.
Pertanyaannya kalau anda langgar itu semua, apa tidak bisa hidup? Jawabnya, tentu saja bisa tapi ada yang hilang dalam diri kita sebagai manusia yang dilahirkan ditengah masyarakat dalam budaya ketimuran yang bersahaja dan penuh kesantunan.
Nah, seharusnya, etisnya, setiap kita yang melahirkan anak (reproduksi) perlu menjaga dan terbebani dengan kebiasaan dalam masyarakat kita yang merupakan penurunan dari nenek moyang.
Kalau tidak melalui proses tersebut yang menempatkannya sebagai situasi normal dan yang diluar itu sebagai abnormal. Maka sudah seharusnya ketika dia dibesarkan tetap pada jalur budaya tersebut (role of life), misalnya tidak dapat tahapan pada usia dini maka pada usia remaja masih dapat mengikuti proses budaya hidup tersebut.
Misal, kita berupaya sedapat mungkin mengadakan acara sunatan, tidak perlu acara besar yang mengundang banyak orang tapi cukup dengan keluarga. Kemudian begitu juga proses dalam hidup manusia berbudaya yang semua itu dibutuhkan untuk membedakan kita dengan orang lepas tak berbudaya atau orang yang lahir dan besarnya tidak normal dari orang tuanya.
Nah, apa yang diperlukan untuk mereka yang tidak melalui itu sebagian atau semua? Jawabnya adalah kemakluman dan kedewasaan.
Nah, karena hidup kita yang penuh dengan kesopanan dan kesantunan maka katika ada yang menjebol dengan sengaja maka menjadi menarik perhatian apalagi bagi orang yang memang merasa terbebani dengan keharusan etika hidup berbudaya seperti biasanya.
Lantas apa disebut untuk orang yang melanggar kesopanan itu? Minimal orang akan berkata Tak senonoh atau minimal hati semua orang akan memberi nilai negatif di tengah masyarakat.
Tatapi ada nilai silang lain yang menempatkan pelanggaran dan pembangkangan kesopanan sosial menjadi target penonton media sosial, dimana adegan itu justru berbayar dan menggantikan film dan drama yang sudah mapan dan tontonan akting profesional.
Nah, bila konten itu original atau memang kenyataan (realita) justru lebih mengundang orang untuk menontonnya bahkan melebihi penonton film yang sudah establish.
Namun kondisinya dalam katagori diluar kebiasaan, maka pembalikan adab sosial dalam ancaman, misalnya perempuan yang ngomongnya ceplas-ceplos, kemudian menyebut nama kemaluannya dengan terbuka, bahkan sama dengan menyebut anggota tubuhnya yang lain.
Misalnya tangan, kaki, hidung tentu berbeda dalam masyarakat normal begitu anda mengatakan anggota tubuh yang alat kelamin anda. Misalnya saya ingin katakan itu maka kebiasaan kita minta maaf sebelumnya karena kurang sopan. Melanggar hukum tersebut kosekuensinya tidak sopan dalam penilaian publik.
Lalu pada sebahagian orang tentu menjadi menarik dan menjadi tontonan bahkan mereka yang sebelumnya menganggap tabu tapi kemudian justru menjadi hal biasa dan mengasyikkan.
Apa keuntungannya Pelaku?
Keuntungan pelaku tersebut hanya satu, menempatkan dirinya sebagai orang yang berani menentang kesopanan atau adab sosial, kemudian mereka dibayar oleh media sosial semisal Youtube untuk jumlah penonton (view).
Tetapi apakah kita dapat menyalahkan Youtube yang membayar mereka melakukan sesuatu yang kontra terhadap kesantunan sosial, tentu saja salah anda yang menilai begitu. Karena tujuan dasar mereka terorientasi pada jumlah penonton (view) yang juga menjadi alat untuk pemenuhan syarat untuk media iklan.
Tetapi hanya kita sendiri atau komunitas atau masyarakat suatu daerah yang bisa menghambat atau membuat penyaringan (filter) konten negatif dan buruk, dengan peraturan, umpama dengan Undang-Undang atau Qanun atau Perda dan sebagainya.
Lantas, apa sebenarnya yang dapat dinilai oleh publik terhadap pelaku dimaksud? Sebatas bahwa dia adalah seseorang yang mengedepankan egoisme dalam hidupnya, arogan dan congkak, angkuh tanpa menghargai orang lain.
Logikanya begini : Bahwa hanya untuk dibayar pelaku itu mau mengorbankan masyarakatnya, generasinya bahkan anak-anaknya untuk berlaku tidak sopan dalam menjalani hidupnya.
Kesimpulannya, prilaku orang itu yang disebut viral dengan cara-cara instan terutama negatif telah mengolok-ngolok adab sosial dan kesatunan sosial yang hanya dapat dihukum oleh masyarakat itu sendiri.
Dengan apa? Ya hanya dengan membiarkan kontennya, jangan pernah menontonnya, tentu karena kebanyakan orang kepo (mau tahu berlebihan).
Maka apapun yang tumbuh dalam masyarakat dengan perkembangan teknology terkini adalah dari representatif cara pikir masyarakatnya sendiri. Kalau masyarakatnya negatif thinking maka yang banyak muncul justru konten negatif yang akhirnya menjadi kecenderungan prilaku masyarakat secara umumnya.
Atas dasar kajian diatas maka masyarakat bodoh akan semakin berkembang karena banyak tokoh masyarakatnya justru sebagai pembuat konten negatif yang berkembang pesat dimasyarakat dan mereka menjadi selegram karena mendapat bayaran yang tinggi sebagai dampak view tersebut.
Karena semakin tumbuh dan berkembang masyarakat yang kontra dengan kesantunan terhadap budaya hidup masyarakat, maka mereka akhirnya menjadi masyarakat yang berkecenderungan merusak budaya, peradaban dan kesantunan sosial (antagonis).
Nah, mereka yang berprilaku seperti ini tergolong warga masyarakat transaksional tidak berbeda dengan antene terbatas dengan menafikan nilai-nilai penting lainnya dalam berbagai sisi hidup.
Nah, ini tidak berbeda atau sama dengan pelaku politik transaksional yang anda anggap lumrah selama ini.
Salam
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H