Oleh : godfathers
Kalau ingin perubahan nasib rakyat Indonesia maka syaratnya rakyat dalam memilih presiden setiap waktu harus yang lebih berkualitas. Sehingga rakyat sebenarnya dalam tahapan hidupnya bukan sekedar memilih untuk sebatas kemenangan kelompoknya yang sering disebut kemenangan dalam politik.
Sebagaimana permainan game yang mempertaruhkan win dan game over pada setiap pemilu. Jika masih berorientasi pada tahapan tersebut maka rakyat Indonesia tergolong sebagai rakyat yang belum paham tanggung jawabnya dalam pemilu bahkan tergolong sebagai rakyat yang tidak paham bahwa hak hidup dan pembangunannya ada pada dirinya sendiri sebagai konsekuensi pemerintah dalam negara demokrasi.
Jika esensi yang dilakukan tidak mencapai substansi terhadap evaluasi pembangunannya maka rakyat Indonesia sama dengan merusak masa depannya sendiri. Ibaratnya orang berjalan tapi mundur ke belakang sebagai akibat salah petunjuk jalan karena tidak mampu berpikir tetapi tetap saja berjalan, mungkin saja dengan petunjuk politik sebatas menjalani pekerjaan tanpa berpikir.
Mohon bacaan ini dibaca dan dipahami secara cermat supaya pembaca memahami ruh pembangunan bangsa sebagai pembangunan rakyat sendiri dalam pemerintah sistem demokrasi yang kepemimpinan berasal dari rakyat untuk rakyat dan hanya untuk melayani rakyat tidak ada arah lain dalam cita-cita negara demokrasi.
Kenapa saya mengatakan bahwa pemilihan presiden adalah sebagai langkah selanjutnya dalam tahapan pembangunan rakyat?
Karena seharusnya rakyat bisa melakukan koreksi pada momentum pilpres maka memilih presiden juga sebagai hasil koreksi pembangunan dalam kepemimpinan rakyat untuk pembangunannya yang lebih baik sebagai hasil koreksinya pada kesempatan yang di temui dalam pemilu setiap lima tahun.
Jadi bukan soal menang dan kalah dalam memilih siapa atau kelompok siapa tetapi yang lebih penting bahwa apa yang terjadi kekurangan pada presiden yang lalu tidak diulang lagi oleh presiden yang dipilih untuk memimpin lima tahun yang akan datang.
Bila rakyat memilih presiden dengan kriteria yang sama dan tidak mampu menutupi kekurangan pada presiden sebelumnya maka rakyat Indonesia telah rugi atau merusak kesempatan yang diberikan oleh yang maha kuasa terutama waktu yang tidak akan pernah berulang kembali dan kesempatan mengkoreksi kepemimpinan sebelumnya yang sudah terbuka tetapi tidak dapat dilihat dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dimata rakyat untuk menjadikannya sebagai pelajaran berbangsa.
Nah, jika tidak bisa melakukan koreksi atas kepemimpinan, misal terjadi penentangan atas sikap mayoritas tetapi rakyat masih saja berorientasi pada kepemimpinan yang sama  maka apa bedanya rakyat dengan keledai yang selalu jatuh pada lubang yang sama.
Miminal bila mereka memilih kriteria yang berbeda dengan sebelumnya akan terbuka peluang terjadi perubahan, tetapi bila rakyat memilih dalam statis dengan memilih rumpun politik presiden sebelumnya maka rakyat hanya menikmati saja pilihannya sebagaimana yang sudah berlaku. Atau dengan kata lain rakyat Indonesia menikmati pembangunan bangsa yang statis atau bahasa rakyat menikmati kejatuhan pada lubang yang sama.
Lebih lengkapnya bahwa rakyat menikmati dalam penjajahan oleh pemimpinnya sendiri, dimana keluarga dan sanak famili serta kelompok politik (rumpun politik) presiden atau sekutu-sekutunya semakin menjadikan negara sebagai dinasti atau kerajaan, kenapa? Karena secara teori politik bila memberi kepercayaan yang tanpa reserve adalah sama dengan mendukung pemerintah korup dan rakyat juga cenderung korup. Maka lihatlah disekitar presiden sudah pasti dihiasi oleh pimpinan partai politik yang terperangkap dalam kasus-kasus yang berbau korupsi atau yang bertentangan dengan kewajaran dimata rakyat tapi sulit dibuktikan walau sudah nyata karena terlindungi dengan kekuasaan.
Memilih secara langsung bagi rakyat sesungguhnya hanya karena tidak ada kekuatn yang dipercaya bisa memilih secara sempurna untuk kepentingan rakyat kecuali rakyat itu sendiri. Dipercayakan kepada MPR dan DPR sebagaimana masa Orde Baru juga tidak tepat karena itu di reformasi pada tahun 1998.
Nilai idealisme sebenarnya bisa mengarahkan orang atau wakil rakyat memilih secara benar presiden tetapi lama kelamaan nilai itupun semakin luntur dan sampai pada suatu masa kebobrokan yang parah sebagai akibat pragmatisme dalam mengejar hidup dengan kebutuhan tertier dan investasi pribadi pejabat negara.
Kenapa sampai pada kebutuhan tertier (mewah) para pejabat? Tentu saja karena mereka sebahagian besar telah menjadi pejabat abadi atau seumur hidupnya, inilah faktor yang menyebabkan timbulnya sikap arogansi para politisi dimasa Orde Baru yang menganut sistem perwakilan yang belum dipilih langsung oleh rakyat. Kemudian mereka juga mempersiapkan masadepan pribadinya dengan investasi yang bisa dinikmati oleh anak cucunya dan keturunannya.
Memang pada awalnya wakil rakyat yang dipilih oleh partai politik memiliki kualitas yang baik, karena mereka baru menjadi pejabat negara, tetapi semakin bertambah periode mereka menjabat maka mereka semakin berkurang kualitasnya, mereka semakin pragmatis dalam bersikap terhadap rakyat kemudian juga dalam memandang kehormatan dan kepentingan rakyat yang semakin sepele.
Jabatan wakil rakyat yang berlanjut secara terus menerus justru membuat pejabat bersangkutan berkuasa secara mutlak, mereka hanya menyogok pemilih membagikan uang sebagaimana penjajah Belanda melempar uang pecahan Golden ke rakyat dan mereka sudah pasti mengutip serta memilihnya.
Pemilu saat ini juga kita banyak menemukan wakil rakyat yang mempersiapkan uang sebesar 15 Milyar untuk dibagikan kepada rakyat pemilih menjelang pemilu.
Itulah kecenderungan kekuasaan mutlak yang tidak hanya terjadi pada presiden yang menjabat terlalu lama, tetapi meliputi semua jabatan negara termasuk wakil rakyat dalam sistem pemilihan langsung atau dalam sistem politik demokrasi.
Tanpa kesadaran pada rakyat pemilihan presiden dan wakil rakyat yang mengarahkan pada orang itu saja maka penempatan posisi rakyat menjadi semakin rendah dimata pejabat bersangkutan. Presiden akan berlaku oligarkhi dan peluang kolusi, korupsi dan nepotisme tidak mungkin bisa dihindari.
Rentetan kejadian tersebut tentunya menurunkan kualitas demokrasi yang drastis bahkan bisa disebut bobrok.
Kemudian apa yang terjadi? Tentu saja sistem demokrasi hanya bungkusan sementara yang berlaku adalah kepemimpinan otoriter, kapemimpinan sentralistik yang menjurus pada kekuasaan yang absolut.
Karena itu kalau sudah sampai pada riwayat ini dan rakyat tidak juga menyadarinya maka kebangkrutan bangsa dan negara adalah konsekuensi yang pasti terjadi. Bahkan negara akan tergadaikan kepada bangsa dan negara lain.
Karena itu kualitas demokrasi pada presiden adalah indikator yang paling utama dalam mengawal negara demokrasi dari pergeserannya kepada sistem kepemimpinan otoritarian yang menciptakan diktator baru dalam kepemimpinan negara.
Oleh karenanya setiap waktu dalam momentum pemilihan presiden seharusnya justru masyarakat harus menghindari memilih pemimpin yang kualitas pemahaman demokrasinya semakin lemah dari presiden yang sebelumnya.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H