Mohon tunggu...
Abdul Halim Rimamba
Abdul Halim Rimamba Mohon Tunggu... wiraswasta -

Mendambakan Perdamaian sejati

Selanjutnya

Tutup

Politik

“Kita Adalah Pemilik Sah Repoblik Ini” (Catatan Atas Bisnis Kemiskinan dan Hilangnya Roh Idealisme Penyelenggara Negara)

10 Desember 2010   10:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:51 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="251" caption="Kita Adalah Pemilik Sah Repoblik Ini"][/caption] Satu persatu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berpindah ke tangan Asing dan sekarang nyaris tak tersisa. Adapula hak eksploitasi Bumi Nusantara yang boleh digarap asing hingga anak cucu dengan pembagian yang “sangat-sangat” tidak adil; sebagai contoh Tambang Gas Tangguh dan Tambang Free Port, belum lagi korupsi yang membudaya dalam sendi kehidupan. Dari yang jumlahnya Triliunan di pemerintah pusat sampai puluhan atau ratusan juta dilevel pemerintah desa. Negeri ini tak ubahnya seperti Kerajaan Harta Karun yang tak terhingga kekayaannya, sementara rakyatnya menjadi buruh kasar yang upahnya antara dibayar dan tak dibayar, Mayoritas Rakyat Kita masih tergolong “miskin”. Kemiskinan Rakyat kita adalah kemiskinan massif dan terstruktur, seakan kemiskinan itu adalah hal yang direncanakan dan penting untuk dipertahankan, setidak-tidaknya menjadi jualan dan komoditas yang sangat ekonomis untuk dijajakan, lihatlah betapa kemiskinan itu menjadi pembicaraan kaum gedongan dan terpelajar, agenda “pembicaraan harian” pemerintah mulai dari aparat pemerintah Pusat di Ibu kota Negara sampai ke pelosok-pelosok desa yang nyaris tidak mengenal peradaban; Semua menjadikan kemiskinan sebagai jualan dan buah bibir untuk memperindah penampilan, meninggikan status sosial dan menimbun diri dengan kekayaan yang tidak perduli bagaimanapun cara meraihnya. Ironi ini bukan karangan belaka, namun sebuah fakta yang secara kasat mata dan vulgar dapat kita saksikan sehari-hari di sekitar kita dimanapun dan kemanapun kita berada, kesenjangan sosial-ekonomi dan stratafikasi kehidupan masyarakat kita begitu kontras. Pejabat Birokrasi dan Pejabat Politik yang lalu lalang dihadapan kita setiap saat memiliki segala kemewahan fasilitas hidup, sementara di kiri kanan mereka berjubel manusia-manusia kere dan kumal karena kemiskinan yang “dipatenkan” kepada mereka Sangat miris dan memilukan-hati memang, tapi itulah realitasnya, “Patensi” miskin didesain dan direncanakan untuk tetap langgeng, demi langgengnya kekayaan dan harta benda para koruptor. Tak heran jika Indonesia dikenal sebagai negara terkorup di Asia Tenggara, dan terkorup peringkat ke tiga di dunia. Kalau hanya kemiskinan yang menggejala secara massif dan terstruktur, dapatlah di pahami sebagai sesuatu yang tentu tidak disengaja, dengan dalih; hanya salah perencanaan, dis-orientasi ataupun kurang propesional pelaksanaannya, paling buruk sebutannya adalah “kebodohan pelaksanaan saja”. Tapi Ironi terburuk dan menjadi catatan penting dalam sejarah peradaban kita adalah adanya indikasi “penjajahan manusia atas manusia”, “penjajahan diantara sesama anak negeri”. Meski Taufik Ismail dalam Puisinya berkata “Kita adalah Pemilik sah Repoblik ini!”, tapi mayoritas bangsa ini menjadi penumpang dinegeri sendiri, menjadi budak di rumah sendiri; “bukan pemilik”, “bukan tuan rumah”, kalau ada yang “sejahtera” itu hanya sebagaian kecil saja, Merekapun mayoritas “bermental penjajah” yang “Rakus bin “tidak ada puasnya”. Mendingan nasib mereka yang nyata-nyata membudak di negeri orang, menjadi babu dan buruh di luar negri. Setelah pulang dari mengumpul Dollar ataupun Dinar, mereka menjadi Orang Kaya Baru (OKB), meskipun ada pula yang pulang dengan duka nestapa karena kurang beruntung ketemu dengan tuan atau majikan yang bengis. Lihatlah Fakta yang terlihat; Pembangunan fisik dan infrastruktur tidak memberikan kesejahteraan yang berarti karena pembangunan fisik infrasturktur tidak dengan tujuan pensejahteraan rakyat, tetapi untuk menambah income mereka yang sudah berkantong tebal. Arah pembangunan tidak lagi Membangun Manusia Indonesia Seutuhnya sebagaimana Tujuan Pembangunan Nasional. Program-program yang direncanakan rapi oleh para pemikir negara di birokrasi (eksekutif) dan dibahas berkepanjangan di lembaga Rakyat (DPR/DPRD) kehilangan roh filosofi lebih-lebih lagi kehilangan Idealisme. Tidak disangkal bahwa pembangunan secara fisik memang ada dan cukup pesat, hanya orang buta yang tidak melihatnya. Tapi sunguh-sungguhkah rakyat merasakan nikmatnya pembangunan dengan peningkatan kesejahteraan? Jawabannya Tidak! Strukturisasi kemiskinan semakin jelas dan nyata. Rakyat yang disebut dan dijamin oleh undang-undang dasar sebagai “atasnama” yang berdaulat, ternyata benar-benar atas-nama saja. Kedaulatannya hanya angan-angan dan hayalan belaka. Undang-undang Otonomi yang berkali-kali dirobah dengan dalih penyempurnaan dalam kenyataannya tak lebih dari pasal-pasal karet yang ternyata tafsiran dan pelaksanaannya bisa di-plintir menurut kemauan penguasa lokal yang diberi mandat, jadi jangankan di plintir; otonomi daerah yang mengatur otonomi begitu luas, indah dan manisnya bagi mereka yang berkuasa, otonomi bahkan bisa “melahirkan” raja-raja baru dan penjajah ke-sesama anak bangsa. Bagaimana tidak berlabel “penjajahan terhadap sesama anak bangsa”, jika yang kuat menindas yang lemah karena motif dendam, pertimbangan suka dan tidak suka mendominasi pendistribusian hak-hak rakyat, kebijakan pembangunan tidak dilandasi karena kebutuhan rakyat tapi kebijakan dibuat berdasarkan kebutuhan pembuat kebijakan itu sendiri, jika faktor “propesionalisme” dan “efektifitas fungsi” serta “hak dasar” dilanggar “tanpa hak”? Bagaimana jika hak Nelayan di-distribusikan ke para petani atau sebaliknya, apa lagi kalau hak petani dan nelayan dimanfaatkan oleh para keluarga pejabat dan koleganya tanpa hak? Bagaimana kalau kewenangan orang lain dikangkangi dan diatur oleh mereka yang tidak berhak? Bagaimana jika seorang propesional di parkir tanpa fungsi dan digantikan dengan orang yang tidak propesional karena pertimbangan subyektif? Bagaimana jika hak orang miskin di kebiri untuk memenuhi keperluan orang-orang yang tidak berhak? Bagaimana “pemberdayaan masyarakat” jika berobah menjadi “memperdayai masyarakat”? Bagaimana jika masyarakat diajar memalsukan dokumen kependudukan demi secuil bantuan? Bentuk-bentuk “penjajahan terhadap bangsa dan kerabat sendiri” sesungguhnya amat mudah terjangkit dan merasuki pikiran orang-orang yang memiliki “kekuasaan” dan “kewenangan”. Dilakukan secara sadar karena dendam atau dilakukan karena memberi penghargaan kepada orang-orang yang dianggap berjasa lantas mengambil hak orang lain. Meski bernada sinisme bahkan sedikit sarkastis tetapi fakta ini sangat akrab dengan kehidupan kita yang “mengelola pemerintahan”, dengan kehidupan kita rakyat yang “dikelola para pengendali negri”. “Tidak ada pilihan lain kita harus berjalan terus, karena berhenti atau mundur berarti hancur. Akankah kita jual keyakinan kita dalam pengabdian tanpa harga? Akan maukah kita duduk satu meja dengan para pembunuh tahun yang lalu? Dalam setiap kalimat yang berakhiran ‘duli Tuanku!’, tidak ada pilihan lain kita harus berjalan terus” (bait puisi Taufik Ismail). Bait-bait puisi “perlawanan” seorang Taufik Ismail terhadap Para penjajah asing sangat tegas, tentu hal ini “lebih penting” untuk ditegaskan bagi sesama anak negeri. Bukankah kita sama? “Pemilik Sah Repoblik Ini”! Kita yang bermata sayu yang menegaskan “kita harus berjalan terus”! Atau kita para penjajah yang menegaskan “kita harus berjalan terus”! Terserah! *) Dirut LESDAM Sulawesi Selatan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun