Mohon tunggu...
Tapa Shidiq
Tapa Shidiq Mohon Tunggu... Guru - Belajar mentuturkan gagasan lewat tulisan.

Seorang guru matematika di Kabupaten Serang Banten. Meski bakat menulis masih belum mumpuni tapi ingin menjadi bagian dari pejuang-pejuang literasi,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Refleksi Sumpah Pemuda: Mengenang Kepahlawanan Syafrudin Prawiranegara

28 Oktober 2023   07:38 Diperbarui: 28 Oktober 2023   07:44 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona


"Saya ingin mati di dalam Islam. Dan ingin menyadarkan, bahwa kita tidak perlu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada Allah". -Syafruddin Prawiranegara-

Manusia tak bisa memilih dari rahim siapa ia akan dilahirkan, atau di bumi bagian mana ia akan dilahirkan. Seperti sosok yang akan kita bicarakan ini Syafruddin Prawiranegara (Lahir 28 Februari 1911), ia ditakdirkan lahir dari rahim seorang ibu berasal dari sumatra, di Serang Banten yang dikenal tanah para ulama dan jawara itu. Bisa jadi kelahirannya di tanah Banten ini untuk menginspirasi pemuda-pemuda asal Banten yang sedang mengeja tulisan sederhana ini.

Ayahnya adalah seorang Bangsawan banten Bernama Raden Arsyad Prawiraatmadja. Seorang Jaksa pada era penjajahan Belanda. Ia dibuang karena kedekatannya dengan rakyat. Kenyataan yang dihadapi Ayahnya tersebut membuat "si Kuding" mulai belajar mengeja aksara perlawanan terhadap kolonialisme. Kenikmatan hidup sebagai bangsawan tidak membuat hati nuraninya mati, justru ia dapat meraba kepedihan yang dirasakan rakyat jelata akibat Penjajah Belanda.

Mungkin Sedikit pemuda Banten yang menghayati kiprah perjuangan "Si Kuding", nama kecil Syafruddin Prawiranegara. Sejarah sendiri mengenangnya dari dua sisi, sisi nasionalis sejati dan pemberontak PRRI. Membuat bangsa ini perlahan melupakan ingatan kolektifnya tentang Sang presiden  PDRI (Pemerintahan Darurat Indonesia) ini.

Sebagai putra dari seorang bangsawan ia mendapatkan kemewahan dalam mengenyam pendidikan. dikutip dari wikipedia.id
Syafrudin menempuh pendidikan di sekolah-sekolah belanda yaitu ELS (setingkat SD) dan MULO (Setingkat SMP) dan AMS (Setingkat SMA), kemudian pendidikan tingginya di RechtesHoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta (sekarang Fakultas Hukum UI) berkat kerjakerasnya dalam belajar ia berhasil meraih gelar Master Hukum.

Bekal pendidikannya itulah yang membuatnya dipercaya untuk bekerja pada departemen keuangan pemerintahan kolonial Belanda maupun jepang. Kelak pengalaman tersebut bermanfaat untuk merawat dan mengelola keuangan Republik Indonesia sebuah negara merdeka yang masih belia.

Kedekatannya dengan tokoh-tokoh pergerakan, terutama tokoh-tokoh pergerakan Islam M. Natsir. Membuat darah Ulama, Jawara dan pejuang kembali mendidih. Syafruddin Muda memilih jalan juang sebagai Ilmuwan, ideolog dan pemikir. Ia  suarakan perjuangannya lewat kata-kata dan tulisan. Ide tentang Indonesia dan kemerdekaan ia gaungkan lewat orasi dan tulisan-tulisannya.  

Pasca proklamasi kemerdekaan, Syafruddin dipercaya turut serta menetapkan Garis-garis besar haluan negara GBHN, bersama Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang lain. GBHN inilah yang menjadi dasar perumusan Undang-undang republik indonesia. Keilmuan dan kecakapan Syafruddin membuat presiden soekarno mengangkatnya menjadi wakil mentri keuangan (1946) dan mentri kemakmuran (1947)

Momentum Sejarah hadir tatkala Belanda kembali hadir mengusik Ibu Pertiwi lewat agresi militernya. Eksistensi Republik Indonesia terancam, pemerintahan indonesia terdesak. puncaknya Ibukota ke-2 Republik indonesia Jogjakarta jatuh ketangan Belanda melalui Agresinya yang ke II .
Sebelum presiden Sukarno ditangkap dan dibuang Belanda ke Bangka pada 19 Februari 1948, Sukarno sempat rapat dan memberikan mandat kepada Syafruddin prawiranegara (Mentri kemakmuran) yang saat itu berada di bukittinggi sumatra, untuk mendirikan pemerintahan darurat Republik Indonesia.

Adanya pemerintahan darurat dengan presiden Syafruddin prawiranegara ini diharapkan eksistensi NKRI sebagai sebuah entitas didunia internasional masih diakui.
Secara De Fakto dan De Jure Syafruddin resmi menjadi pemegang kendali pemerintahan saat itu.
Pada tanggal 23 Desember 1948 Syafruddin Prawiranegara berpidato dengan lantang, menantang Belanda yg mengklaim Republik Indonesia telah bubar :

"... Belanda menyerang pada hari Minggu, hari yang biasa dipergunakan oleh kaum Nasrani untuk memuja Tuhan. Mereka menyerang pada saat tidak lama lagi akan merayakan hari Natal Isa AS, hari suci dan perdamaian bagi umat Nasrani. Justru karena itu semuanya, maka lebih-lebih perbuatan Belanda yang mengakui dirinya beragama Kristen, menunjukkan lebih jelas dan nyata sifat dan tabiat bangsa Belanda: Liciknya, curangnya, dan kejamnya.
Karena serangan tiba-tiba itu mereka telah berhasil menawan Presiden, Wakil Presiden, Perdana Menteri, dan beberapa pembesar lain. Dengan demikian, mereka menduga menghadapi suatu keadaan negara republik Indonesia yang dapat disamakan dengan Belanda sendiri pada suatu saat negaranya diduduki Jerman dalam Perang Dunia II, ketika rakyatnya kehilangan akal, pemimpinnya putus asa dan negaranya tidak dapat ditolong lagi.
Tetapi kita membuktikan bahwa perhitungan Belanda itu sama sekali meleset. Belanda mengira bahwa dengan ditawannya pemimpin-pemimpin kita yang tertinggi, pemimpin-pemimpin lain akan putus asa. Negara RI tidak tergantung kepada Sukarno-Hatta, sekalipun kedua pemimpin itu sangat berharga bagi kita. Patah tumbuh hilang berganti.
Kepada seluruh Angkatan Perang Negara RI kami serukan: Bertempurlah, gempurlah Belanda di mana saja dan dengan apa saja mereka dapat dibasmi. Jangan letakkan senjata, menghentikan tembak-menembak kalau belum ada perintah dari pemerintah yang kami pimpin. Camkanlah hal ini untuk menghindarkan tipuan-tipuan musuh."

Pidato Presiden PDRI itu, membuat perlawanan rakyat dan tentara kembali bergeliat. Perang besar terjadi secara gerilya dipimpin oleh Jendral Sudirman. Seketika itu pimpinan PDRI menjadi sasaran buruan Belanda. Kondisi itu mengharuskan Syafruddin Prawiranegara beserta para mentri PDRI ikut bergerilya dari hutan ke hutan, untuk menghindari penangkapan Belanda.

Keadaan demikian terus berlangsung hingga Belanda memutuskan untuk melakukan perundingan. Terjadilah perundingan reom -Royen yang sempat ditentang oleh Jendral Sudirman karena perundingan tersebut bukan dengan pemerintahan yang masih berdiri saat itu yaitu PDRI namun dengan tawanan perang (Soekarno dan Hatta) yang diwakili oleh Moh Roem. Namun Syafruddin memberi pesan kepada Jendral Sudirman dan para tentara untuk patuh pada perundingan antara Belanda dan Soekarno-Hatta tersebut.

Perundingan Reom-Royen yang menghasilkan KMB ( Konfrensi Meja bundar) dan RIS (Republik Indonesia Serikat), menandai berakhirnya pendudukan Belanda di Indonesia. Syafruddin dengan sikap kenegarawanannya menyerahkan kembali mandat selaku Presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia kepada Mohammad Hatta selaku perdana mentri RIS.

Demikianlah sosok tawadhu Syafruddin Prawiranegara memegang masa pemerintahan yang singkat (19 Desember 1947 - 14 Juli 1949) disaat Negri berada diujung tanduk kehancuran akibat agresi militer Belanda. Ia menganggap dirinya bukan presiden hanya sebagai Ketua pelaksana Pemerintahan Darurat. Ia menganggap jabatan hanya amanah dan titipan dari Allah SWT.

Darah ulama dan Ghiroh keislaman yg mengalir dinadinya, membuat ia bergabung kedalam partai Islam Masyumi. Syafruddin menjadi prototipe pemuda Hijrah pada masanya. Mengenyam pendidikan Liberal ala barat justru membuat ia sadar akan pentingnya berislam secara kaffah. Hal itulah yang membuatnya dikenal sebagai politisi islam. Ia berupaya agar syariat islam masuk dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Nostalgia masyarakat Sumatra Pada PDRI kembali muncul, manakala krisis idiologi akibat masuknya faham komunis dalam pemerintahan, ditambah kurang meratanya ekonomi dan pembangunan daerah. Memunculkan sosok Syafruddin Prawiranegara dalam bentuk yang berbeda. Gerakan protes yang masive menyeret paksa sosok kharismatik ini kedalam pusaran fitnah pemberontakan PRRI.

Ia ditangkap sebagai terduga makar, Statment dan keritik kerasnya terhadap pemerintah dianggap ancaman disintegrasi bangsa. mendekam dalam penjara sebagai tahanan politik. Partai yang ia pimpin pun tak luput dari pembubaran. Masyumi resmi dibubarkan karena dianggap menginisiasi pemberontakan PRRI dan dianggap dalang dari pemboman di cikini (Ulang tahun PKI).

Dari Syafruddin Prawiranegara kita belajar kesederhanaan, Keuletan dan integritas.
Bahwa hidup adalah tentang memperjuangkan prinsip yaitu nilai-nilai luhur yang merupakan saripati agama Islam. Tauhid.
Sebagaimana ucapannya kala menyikapi pemboikotan2 rezim orde baru atas ceramah-ceramahnya di tahun 80an.

"Saya ingin mati di dalam Islam. Dan ingin menyadarkan, bahwa kita tidak perlu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada Allah".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun