Mohon tunggu...
Taofik Hidayat
Taofik Hidayat Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Memaksimalkan Segala Potensi Diri Untuk Kemungkinan Terbaik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menggali Ajaran Toleransi dalam Islam: Perspektif Al-Qur'an, Hadist, dan Kitab Turats

30 Juni 2024   12:12 Diperbarui: 30 Juni 2024   12:58 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https //www.canva.com

Toleransi adalah salah satu prinsip utama dalam Islam yang dipegang teguh oleh umat Muslim di seluruh dunia. Prinsip ini tidak hanya merupakan bagian dari nilai-nilai kemanusiaan yang universal tetapi juga tertanam dalam ajaran-ajaran fundamental agama Islam. Islam mengajarkan umatnya untuk hidup berdampingan dengan damai, menghormati perbedaan, dan memberikan kebebasan beragama kepada setiap individu. 

Prinsip toleransi ini tercermin dalam berbagai sumber utama agama Islam, termasuk Al-Qur'an, Hadist, dan pendapat ulama yang menjadi referensi penting dalam tradisi keilmuan Islam. 

Dalam ajaran Islam, toleransi tidak hanya dilihat sebagai kewajiban sosial tetapi juga sebagai manifestasi dari iman dan ketakwaan seseorang kepada Allah SWT. Dengan mengedepankan sikap toleran, umat Islam diajarkan untuk menciptakan hubungan yang harmonis dengan sesama manusia, menghormati hak-hak mereka, dan menjaga perdamaian di tengah-tengah keberagaman yang ada.

Al-Qur'an, sebagai kitab suci umat Islam, memuat banyak ayat yang mengajarkan tentang pentingnya toleransi dan penghormatan terhadap perbedaan. Salah satu ayat yang paling terkenal adalah Surah Al-Baqarah ayat 256: "Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat."

Ayat ini menegaskan bahwa setiap individu memiliki kebebasan dalam memilih keyakinannya tanpa adanya paksaan. Dalam konteks sejarah, ayat ini turun pada masa Nabi Muhammad SAW di Madinah, di mana masyarakatnya sangat pluralistik dan terdiri dari berbagai suku dan agama. Kehadiran ayat ini menjadi landasan penting dalam membangun masyarakat yang inklusif dan menghargai keberagaman keyakinan. Ini juga menegaskan bahwa Islam tidak memaksakan keyakinannya kepada siapa pun, melainkan menawarkan kebenaran yang dapat diterima atau ditolak berdasarkan kehendak bebas individu.

Selain itu, Surah Al-Hujurat ayat 13 juga menekankan pentingnya mengenal dan memahami perbedaan: "Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti."

Ayat ini menunjukkan bahwa perbedaan dalam suku, bangsa, dan budaya adalah bagian dari kehendak Allah, dan tujuan utamanya adalah agar manusia dapat saling mengenal dan menghormati satu sama lain. Dalam tafsirnya, banyak ulama yang menjelaskan bahwa ayat ini menegaskan pentingnya keragaman sebagai sarana untuk memperkaya kehidupan manusia. Keragaman tersebut adalah sunnatullah yang harus diterima dengan rasa syukur dan dijadikan sebagai motivasi untuk saling menghormati dan bekerja sama.

Hadist, sebagai sumber kedua setelah Al-Qur'an, juga memberikan panduan tentang toleransi. Salah satu hadist yang sering dikutip adalah dari Sahih Bukhari: "Barang siapa yang menyakiti seorang dzimmi (non-Muslim yang hidup di bawah perlindungan Islam), maka aku akan menjadi lawannya pada Hari Kiamat."

Hadist ini menunjukkan betapa besar perhatian Nabi Muhammad SAW terhadap hak-hak non-Muslim yang hidup di bawah perlindungan negara Islam. Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa perlindungan terhadap non-Muslim adalah tanggung jawab umat Islam dan bahwa menyakiti mereka adalah perbuatan yang sangat serius. 

Dalam konteks sejarah, hadist ini menggambarkan bagaimana Nabi Muhammad SAW menjamin hak-hak kaum minoritas di Madinah yang terdiri dari Yahudi, Nasrani, dan penganut kepercayaan lainnya. Keselamatan dan keamanan mereka dijamin penuh oleh negara Islam, dan setiap pelanggaran terhadap hak-hak mereka dianggap sebagai pelanggaran terhadap Nabi sendiri.

Selain hadist tersebut, terdapat banyak contoh lain dari kehidupan Nabi Muhammad SAW yang menunjukkan sikap toleransi beliau. Misalnya, ketika Nabi menerima tamu dari Nasrani Najran dan mengizinkan mereka untuk beribadah di masjid Nabawi. Tindakan ini menunjukkan bahwa Nabi sangat menghormati hak-hak beribadah orang lain, meskipun berbeda keyakinan. Sikap ini menjadi teladan bagi umat Islam dalam berinteraksi dengan penganut agama lain dengan penuh penghormatan dan kerukunan.

Kitab Turats, yang merujuk pada berbagai kitab klasik yang ditulis oleh ulama-ulama besar dalam sejarah Islam, juga banyak membahas tentang pentingnya toleransi. Misalnya, dalam kitab "Ihya' Ulumuddin" karya Imam Al-Ghazali, dijelaskan tentang akhlak dan etika dalam berinteraksi dengan sesama manusia, termasuk dengan mereka yang berbeda agama. Imam Al-Ghazali, seorang ulama besar dalam sejarah Islam, menekankan bahwa akhlak mulia adalah fondasi dari setiap hubungan antar manusia, baik itu sesama Muslim maupun dengan non-Muslim.

Imam Al-Ghazali menekankan pentingnya berperilaku baik dan adil terhadap semua orang, tanpa memandang latar belakang agama atau etnis mereka. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai toleransi telah menjadi bagian integral dari tradisi keilmuan dan spiritualitas Islam. Dalam karya-karyanya, Al-Ghazali sering kali mengutip contoh-contoh dari kehidupan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya yang menunjukkan sikap ramah, adil, dan toleran terhadap semua orang. Misalnya, dalam salah satu bagian kitabnya, ia menjelaskan bahwa seorang Muslim yang baik harus mampu hidup berdampingan dengan siapa pun dengan sikap yang penuh hormat dan kasih sayang.

Kitab Turats lainnya, seperti "Tafsir Al-Jalalain" dan "Al-Muwafaqat" karya Imam Al-Syatibi, juga menggarisbawahi pentingnya prinsip toleransi dalam kehidupan sehari-hari. Para ulama tersebut menegaskan bahwa Islam mengajarkan umatnya untuk selalu mencari jalan tengah dan bersikap moderat dalam segala hal, termasuk dalam berhubungan dengan orang yang berbeda keyakinan. Prinsip ini dikenal sebagai 'wasatiyyah', yang berarti jalan tengah atau moderasi. Prinsip wasatiyyah ini menekankan bahwa Islam menolak segala bentuk ekstremisme dan mendorong umatnya untuk selalu mengedepankan sikap toleran dan saling menghormati.

Toleransi dalam Islam bukanlah konsep yang baru atau asing. Prinsip ini telah tertanam dalam ajaran Al-Qur'an dan Hadist yang menjadi landasan bagi umat Muslim dalam berinteraksi dengan sesama manusia. Dengan memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran ini, umat Islam dapat membangun masyarakat yang harmonis dan saling menghormati, sesuai dengan tuntunan agama yang penuh dengan kasih sayang dan keadilan. Melalui penerapan nilai-nilai toleransi, Islam menunjukkan wajahnya yang damai dan inklusif, mengajak seluruh umat manusia untuk hidup dalam kedamaian dan kerukunan tanpa memandang perbedaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun