Awal tahun ini, Direktur Utama (Dirut) Perum Bulog Budi -Buwas- Waseso menyatakan bahwa Indonesia tidak akan impor beras sampai pertengahan tahun ini. Sepintas saja, pernyataan itu terkesan heroik dan nasionalis sekali. Pensiunan perwira tinggi Polri itu seolah terkesan anti impor dan sangat pro produk lokal. Di saat yang bersamaan, Buwas juga seperti mengonfirmasi bahwa produksi beras dalam negeri sudah sangat mencukupi kebutuhan sehingga kita tidak perlu lagi mendatangkan beras dari luar negeri.
Tapi ternyata, di balik itu tersembunyi sebuah masalah besar. Sampai saat ini, stok beras yang tersimpan di gudang-gudang Bulog di seluruh Indonesia masih 1,6 juta ton. Lebih dari separuhnya adalah beras impor yang didatangkan tahun 2018 lalu. Padahal sebentar lagi musim panen tiba.
Sebagai pembanding, batas aman stok Bulog untuk akhir tahun adalah 1,5 juta ton. Artinya, stok Bulog saat ini bahkan masih ideal untuk posisi akhir tahun lalu. Harusnya menjelang panen, stok Bulog sudah jauh di bawah itu agar bisa sebanyak-banyaknya menyerap beras dari petani.
Sebenarnya masalah ini sudah diprediksi oleh Buwas sejak pertengahan tahun lalu. Ia pernah mengungkapkan bahwa stok beras di Gudang Bulog sudah membludak. Maka dari itu salah satu langkah antisipasinya beberapa waktu lalu adalah mewacanakan ekspor beras untuk mengosongkan stok.Â
Secara regulasi, penumpukan beras di Gudang Bulog memang berpotensi menyebabkan adanya pelanggaran. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 38 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP), disebutkan pada Pasal 3 bahwa pelepasan CBP harus dilakukan apabila telah melampaui batas waktu simpan 4 bulan. Jika lebih dari 4 bulan, beras berpotensi mengalami penurunan mutu.
Namun hingga kini Bulog belum bisa melakukan disposal (pelepasan), lantaran belum ada aturan yang jelas mengenai siapa yang menanggung kerugian, jika cadangan beras harus dilepas di bawah harga pembelian.
Bulog sepertinya kewalahan untuk mengelola stok beras di gudangnya sendiri. Apalagi pemerintah sejak tahun ini mengganti program bantuan Beras Sejahtera (Rastra) menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Biasanya, setiap bulan Bulog menyalurkan 250 ribu ton untuk rastra. Sekarang sebagian beras rastra sudah dihapus.
Jumlah pagu bansos Rastra periode Januari-April 2019 hanya sebanyak 213.520 ton untuk 5,30 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Bandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yang mencapai sekitar 1 juta ton untuk 4 bulan. Menurut pengakuan Bulog, realisasi penyaluran rastra pada Januari-Februari hanya 73 ribu ton. Dampaknya, cadangan beras Bulog kini menumpuk di gudang.
Perubahan rastra menjadi BPNT membuat proses distribusi beras mampet, sehingga stok menumpuk di gudang. Akibatnya, penyaluran beras saat ini hanya dialihkan untuk kegiatan operasi pasar, bencana dan pembelian komersial.
Sebetulnya, ada juga cara lain untuk mengurangi stok beras di Gudang Bulog. Yakni mendistribusikannya ke daerah yang membutuhkan. Misalnya, dipindahkan dari Jatim ke Papua, Kalimantan, atau Nusa Tenggara Barat yang kemungkinan gagal panen akibat cuaca atau bencana alam. Atau Bulog juga bisa melakukan Buy to Sell. Artinya, membeli beras kemudian langsung dijual.
Masalah ini harus segera diatasi oleh Bulog, supaya tidak terulang peristiwa temuan ribuan ton beras busuk di Gudang BUlog seperti di Sumatera Selatan beberapa waktu lalu. Membiarkan beras membusuk di Gudang adalah tindakan mubazir. Butuh kepemimpinan dan manajerial yang bagus dari segenap pimpinan BUlog agar beras yang sudah ditanam petani, tidak terbuang percuma.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H