Saat ini, alih fungsi lahan menjadi ancaman yang sangat perlu diwaspadai di sektor pertanian kita. Karena lahan yang sudah dialihfungsikan, tidak lagi bisa dikembalikan. Tidak mungkin kan areal pemukiman atau industri dikembalikan lagi fungsinya menjadi persawahan.
Keseriusan ancaman ini juga tercermin dari rilis Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) akhir tahun lalu yang menyatakan, setiap tahunnya areal persawahan diprediksikan terus berkurang karena alih fungsi lahan.Â
Fenomena ini juga terjadi di Provinsi Lampung. Alih fungsi lahan yang terjadi di kota Metro, Lampung, membuat semua kalangan kuatir. Termasuk dari pihak legislatifnya. Oleh karena itu, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari Metro pun mengusulkan ke Pemkot Metro mencari lahan persawahan sebagai ganti lahan sawah yang telah tergerus.
Bisa dibilang, semua pihak untuk menjaga agar produksi padi tidak berkurang, dan alih fungsi lahan tidak berpengaruh terhadap produksi padi. Karena ada reputasi kota Metro sebagai produsen padi, yang dipertaruhkan. Pada tahun 2017 dan 2018, wilayah itu berhasil surplus produksi padi sekitar 3000 ton. Namun bila alih fungsi lahan tidak bisa diredam dan tidak ada inovasi pertanian, bukan tidak mungkin kota Metro akan defisit produksi padi ke depannya.
Upaya membendung alih fungsi lahan memang sudah dilakukan oleh pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian (Kementan). Caranya adalah dengan melancarkan program cetak sawah. Program ini dihelat sejak 2013 lalu, dan juga direncanakan dengan anggaran hingga trilyunan rupiah.Â
Sayangnya, program ini dianggap masih belum berhasil. Untuk bisa efektif berproduksi, cetak sawah memerlukan waktu yang sangat lama. Di mana lahan sawah baru tersebut diperkirakan baru bisa berfungsi dalam jangka waktu 5 tahun hingga 10 tahun ke depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H