Pertama, menolak hermeneutika tradisional yang hanya berfokus pada pemahaman teks atau makna subjektif. Habermas ingin mengembangkan hermeneutika untuk memahami realitas sosial secara kritis.
 Kedua, memadukan aspek subjektif (pemahaman individu) dan objektif (struktur sosial) dalam proses penafsiran. Habermas ingin menciptakan jembatan antara idealitas dan realitas.
 Ketiga, menekankan pentingnya kesadaran kritis untuk mengungkap distorsi komunikasi dan dominasi yang terjadi dalam masyarakat.
 Keempat, melihat hermeneutika sebagai proses komunikasi intersubjektif yang bertujuan untuk mencapai konsensus dan emansipasi manusia.
 Jadi inti pemikiran Habermas adalah mengembangkan hermeneutika agar tidak hanya berhenti pada pemahaman, tapi juga mampu mengkritisi struktur sosial yang menindas. Hermeneutika harus diarahkan untuk pembebasan manusia dari segala bentuk dominasi.
Lalu, Bagaimana Habermas dalam Memandang Tragedi Ini?
 Parah, orang luar sampai ikut andil membahas trend ini. Bukan-bukan, Jurgen habermas memiliki sebuah teori yang cocok untuk mengkaji masalah ini, ya di atas tadi. Apakah benar maksud dari kalimat "Orang Miskin Dilaran Sarjana", seperti yang telah diungkap oleh Danang Giri Sadewa?
 Pertama-tama, dengan menggunakan teori hermeneutika kritis Habermas, Kami sependapat dengan Danang Giri Sadewa bahwa literasi dalam memahami suatu berita sangatlah penting. Dalam kasus ini, tampaknya terdapat kesalahpahaman di kalangan masyarakat terkait maksud sebenarnya dari slogan "Orang miskin dilarang sarjana" yang disuarakan oleh mahasiswa Unsoed.
 Jika kita menggunakan perspektif teori kritis Habermas, maka slogan tersebut dapat dipandang sebagai sebuah upaya untuk membangun kesadaran kritis critical consciousness di kalangan masyarakat. Para mahasiswa Unsoed tampaknya ingin menggugah kesadaran publik akan ketimpangan akses pendidikan tinggi yang semakin terbatas bagi kelompok masyarakat kurang mampu secara ekonomi.
 Slogan tersebut dapat dilihat sebagai bentuk kritik terhadap realitas pendidikan Indonesia yang masih belum memenuhi cita-cita konstitusional mengenai keadilan dan pemerataan akses pendidikan. Dengan mempertanyakan "Apakah orang miskin dilarang sarjana?", mahasiswa Unsoed ingin mendorong refleksi kritis publik terhadap praktik-praktik yang menghalangi kelompok marjinal untuk memperoleh pendidikan tinggi.
 Dalam perspektif Habermas, proses komunikasi kritis semacam ini berperan penting dalam upaya emansipasi dan pembebasan masyarakat dari segala bentuk dominasi dan distorsi sistemik. Melalui pembangunan kesadaran kritis, diharapkan dapat muncul gerakan sosial yang menuntut transformasi struktural dalam sistem pendidikan, sehingga kemiskinan tidak lagi menjadi hambatan bagi setiap warga negara untuk mengakses pendidikan tinggi.