tantangan baru. Salah satu fakta yang kini menjadi perhatian adalah deepfake. Deepfake adalah teknologi berbasis kecerdasan buatan atau artificial intelegent (AI). Deepfake merupakan gabungan dari dua kata, yaitu "deep learning" dan "fake". Deepfake pertama kali muncul pada tahun 2017 ketika seorang moderator Reddit membuat subreddit yang disebut "deepfakes" Â mengunggah sebuah video yang menggunakan teknologi swap face atau pertukaran wajah untuk memasukkan kemiripan selebritas ke dalam video porno yang telah ada.
Perkembangan teknologi telah membawa banyak manfaat bagi kehidupan manusia, namun di saat yang sama juga membawa berbagaiDengan kata lain, deepfake adalah istilah yang mengacu pada algoritma yang memungkinkan pengguna mengubah wajah aktor menjadi wajah aktor lain dalam video foto-realistis (photorealistic). Hal ini merupakan cara baru untuk memanipulasi videografi dengan memanipulasi wajah seseorang menjadi wajah orang lainnya dalam bentuk sebuah video. Teknologi deepfake menggunakan data berupa wajah seseorang yang merupakan bagian dari data pribadi dan dapat disalahgunakan untuk propaganda, pornografi, aktivitas kriminal seperti pencurian identitas, atau masalah privasi terkait lainnya.
Deepfake telah memberikan dampak signifikan terhadap dunia jurnalistik, terutama dalam hal penyebaran disinformasi. Teknologi ini memungkinkan pembuatan video atau audio yang tampak dan terdengar asli, meskipun sebenarnya sepenuhnya palsu. Dengan kemudahan dalam produksi dan distribusi melalui berbagai platform digital, deepfake kini berpotensi disalahgunakan oleh berbagai pihak untuk memengaruhi opini publik serta merusak reputasi individu ataupun institusi.
Sebagai contoh dalam konteks politik, kasus deepfake bisa digunakan untuk menciptakan video palsu seorang politisi seperti salah satu beredarnya video hoax viral Prabowo Subianto sebelum menjabat menjadi presiden. Dalam video tersebut, Prabowo mengatakan akan membagikan ribuan sprei karena berhasil menang satu putaran dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Padahal faktanya, Prabowo sedang mengucapkan terima kasih ke berbagai pihak yang telah ikut serta menyukseskan berlangsungnya debat pilpres 2024 di kanal YouTube Kompas TV.
Hal ini mengungkapkan salah satu ancaman nyata yang ditimbulkan oleh teknologi manipulasi digital, seperti deepfake, terhadap masyarakat luas. Kemampuan deepfake untuk mengubah konteks atau isi suatu video dengan cara yang sangat meyakinkan dapat disalahgunakan untuk mendistorsi realitas dan menyebarkan informasi palsu, seperti klaim bahwa Prabowo Subianto mempromosikan produk sprei.
Teknologi deepfake menimbulkan tantangan serius, terutama dalam konteks politik, di mana reputasi dan kepercayaan publik terhadap tokoh atau kandidat sangatlah penting. Penggunaan teknologi ini bisa merusak posisi lawan politik, membingungkan pemilih, atau bahkan menciptakan narasi yang sepenuhnya tidak berdasar. Hal ini berpotensi mengganggu proses demokrasi dan menurunkan kualitas diskusi publik.
Kehadiran deepfake menciptakan tantangan besar bagi integritas informasi di era digital. Saat konten yang tidak benar yang dihasilkan oleh teknologi ini menyebar luas, kepercayaan masyarakat terhadap media dan sumber berita dapat menurun. Terlebih lagi, deepfake sering digunakan untuk tujuan tertentu seperti menyebarkan propaganda, mendiskreditkan tokoh publik, atau memanipulasi persepsi masyarakat mengenai isu-isu sensitif. Lebih mengkhawatirkan lagi, kemampuan deepfake untuk menipu bahkan para ahli menjadikannya ancaman yang serius. Jika teknologi ini disalahgunakan, dapat muncul situasi di mana faktanya begitu sulit untuk dibedakan dari kebohongan. Ini berisiko menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat dan memengaruhi pengambilan keputusan penting di bidang politik, ekonomi, maupun sosial.
Kasus klaim palsu yang dialami Prabowo Subianto mencerminkan tantangan besar di bidang etika jurnalistik dalam era digital. Teknologi seperti deepfake tidak hanya mengancam kebenaran informasi, tetapi juga menuntut para jurnalis untuk menghadapi dilema etis yang semakin rumit. Seperti konten yang dimanipulasi dapat dengan cepat menyebar, tanggung jawab jurnalis untuk memverifikasi fakta menjadi semakin mendesak.
Dalam konteks jurnalistik, kemampuan deepfake untuk merekayasa realitas memaksa jurnalis dan media untuk lebih cermat dalam memverifikasi kebenaran informasi sebelum disampaikan kepada publik. Salah satu tantangan utama dalam upaya menyajikan berita dengan cepat, media sering kali terjebak dalam perangkap menyebarkan informasi palsu sebelum melakukan verifikasi yang menyeluruh. Jika gagal memverifikasi, jurnalis tidak hanya berisiko kehilangan kredibilitas, tetapi juga berkontribusi pada penyebaran disinformasi.
Selain itu, etika jurnalistik dihadapkan pada pertanyaan tentang cara melaporkan informasi yang berkaitan dengan deepfake atau manipulasi digital. Ada risiko bahwa dengan melaporkan keberadaan video palsu tanpa konteks yang tepat, media justru memperburuk dampak dari konten tersebut. Dalam situasi ini, jurnalis harus berhati-hati agar tidak menjadi alat amplifikasi bagi pihak-pihak yang berniat menyebarkan disinformasi. Misalnya, jurnalis upaya menjadi yang pertama melaporkan berita, sebuah media memublikasikan video manipulasi tanpa melakukan verifikasi mendalam. Kemudian diketahui bahwa video itu palsu, tetapi pada saat itu, video sudah viral dan telah merusak opini publik.
Ketika jurnalis mempublikasikan, mereka harus memberikan bukti kepada pembaca bahwa konten mereka dapat diandalkan. Selain itu, informasi tentang media sintetis harus dimasukkan ke dalam upaya literasi media khalayak. Media memiliki peran penting dan bertanggung jawab dalam mendidik masyarakat mengenai bahaya disinformasi, termasuk ancaman yang ditimbulkan oleh teknologi deepfake. Salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan membuat konten edukatif yang menjelaskan bagaimana cara mengenali video atau audio yang tidak asli, serta menekankan pentingnya memverifikasi kebenaran informasi melalui sumber yang dapat dipercaya.