Aku mengulaskan bedak tipis ke wajahku sambil mendengarkan Rocky menjelaskan  perjalanan yang akan kulewati. Robot humanoid seri terbaru itu menekan  tombol di lengannya yang menampilkan layar besar  di dinding kamarku. Tampaklah peta perjalanan menuju rumah keluarga Mariokendar.
"Lokasi ini cukup jauh. Kau butuh  6 jam 48 menit 19 detik dengan mobil antikmu itu. Kusarankan gunakan Carembo, mobil terbangmu, agar perjalananmu menjadi  2 jam 39 menit 54 detik," jelasnya.
Dua puluh tahun lalu, keluarga Mariokendar menghabisi keluargaku. Mereka menjadikanku yatim piatu di usia enam tahun. Johan Risang menemukanku meringkuk gemetaran di antara jasad ayah, ibu, dan kakakku usai pembantaian. Lelaki itu lalu membawaku ke kediamannya, merawatku sebagai anaknya sendiri hingga kini. Rocky adalah hadiah ulang tahunku yang ke-19 darinya.
Johan Risang memperkerjakan beberapa pembunuh bayaran yang disewakannya pada orang-orang untuk kepentingan tertentu dengan bayaran mahal. Aku sudah terbiasa dengan bisnis kotor ayah angkatku ini. Boleh dikatakan kami hidup dari membunuh.Â
Beberapa waktu  lalu, seorang klien Johan Risang berniat menyewa salah satu anak buah ayah angkatku itu  untuk menghabisi keluarga Mariokendar karena persaingan bisnis. Aku yang tanpa sengaja mendengar percakapan mereka langsung menyediakan diri untuk melaksanakan tugas ini. Alangkah menyenangkan bisa membantai keluarga Mariokendar. Dendam yang kusimpan pada mereka sudah saatnya kuledakkan. Awalnya Johan Risang menolak keinginanku. Namun setelah aku mengancam akan pergi dari rumah, ayah angkatku itu  pun mengabulkan keinginanku.
      "Aku akan menggunakan Silia. Aku ingin menikmati perjalanan ini," kataku pada Rocky. Aku lebih suka mengendarai mobil antik keluaran tahun 2075 yang kunamai Silia itu. Mobil darat itu sudah jarang digunakan orang karena kecepatannya yang kalah jauh dengan Carembo, mobil terbang keluaran terbaru. Namun di tahun 2092 ini, arus lalu lintas darat tak seramai lalu lintas udara yang dipenuhi mobil terbang. Aku  lebih suka melakukan perjalanan darat meskipun waktu tempuhnya lebih lama.
      "Terserah kau. Aku sudah memberikan gambaran." Rocky memencet tombol off di lengannya. Layar hologram di dinding pun lenyap.
      Satu jam kemudian aku telah siap berangkat. Sebuah arloji canggih yang melingkar di pergelangan tanganku  akan mengeksekusi keluarga Mariokendar dengan cepat tanpa bekas.
Silia melaju setelah kutekan tombol koordinat tujuan pada panel GPS yang ada di bagian depan. Pada layar mungilnya tampak angka waktu perjalanan. Persis seperti yang dikatakan Rocky, 6 jam 48 menit 19 detik.
Saat melewati jalanan yang diapit dua perbukitan, Â tiba-tiba Silia membelok ke sebuah arah yang salah. Kutekan tombol rerouting untuk mengembalikannya ke arah yang benar. Namun Silia tetap melaju, melewati persawahan dan pepohonan yang tak kukenal.
"Hai Silia, kenapa kamu ini?' Aku mulai cemas. Silia tidak merespon. Aku mengecek tombol deteksi kondisi jalan di layar monitor, tapi tak kulihat sesuatu yang janggal hingga Silia benar-benar berhenti.
Aku melihat sekeliling. Jalanan itu sangat sepi. Beberapa meter dariku, tampak sebuah rumah mungil bercat hijau. Suara "beep" pada arloji di tanganku mendeteksi ada seseorang dalam rumah itu. Kuputuskan untuk memasuki rumah itu. Lalu tiba-tiba...
Blam!
Pintu tertutup sendiri. Kutekan tombol stand by pada arlojiku, berjaga-jaga jika ada yang membahayakan. Bunyi "beep" di arlojiku menuntunku ke sebuah arah. Sebuah pintu yang terbuka lebar di bagian dalam ruangan menarik perhatianku. Perlahan kulangkahkan kaki ke sana. Seorang lelaki sedang bertelut menghadap sebuah meja kecil. Nampak dua lilin menyala dan sebuah besi bersilangan seperti tanda plus dengan patung kecil tergantung di depannya.
Aku berhenti sejenak. Ingatanku melayang pada masa kecilku dulu. Ibu sering menempatkan benda seperti itu di ruang keluarga. Lalu kami sekeluarga akan mengelilinginya dan membuat sikap persis seperti yang dilakukan oleh lelaki  itu. Aku merasa nyaman dan tak asing. Dadaku berdesir cepat. Kemudian sesuatu yang basah mengaliri pipiku. Aku seperti sedang merindukan sesuatu.
Lalu lelaki itu menegakkan kepalanya, membuat sebuah gerakan tangan  menyentuh dahi dan dada secara berurutan, persis seperti yang dilakukan kedua orang tuaku dulu. Lelaki itu menoleh padaku dan tersenyum.
      "Akhirnya kamu datang juga," sapanya, seolah telah lama menungguku. Aku memegang arlojiku, bersiap untuk menekan tombol on. Ia mengangkat tangannya
      "Jangan Lexa, aku bukan lawanmu." Ia berjalan mendekatiku.  Dia ternyata tampan sekali. Aku hampir kehabisan napas saat jarak kami tinggal satu langkah lagi.
      "Sssiiapa kamu? Kenapa kau tahu namaku?" tanyaku gugup. Ia mengulurkan tangannya.
"Aku Rain. Aku yang mengarahkan Silia ke sini."
      "Kenapa?" desakku curiga.
"Kita memang harus bertemu. Ada yang harus kulakukan padamu."
      "Apa itu?" Aku bersiap untuk menyerang. Namun Rain tetap tenang. Senyumnya membuat dadaku berdesir.
      "Lexa, rencanamu untuk menghabisi keluarga Mariokendar itu  karena dendam yang kamu simpan terlalu lama. Kamu membuat energi positif di sekelilingmu semakin menipis. Apakah kamu yakin setelah menghabisi keluarga Mariokendar kamu akan bahagia?" tanyanya. Aku terdiam ragu. Tak terasa setitik air mengaliri pipiku. Sejujurnya aku merasa sangat lelah menanggung dendam ini sepanjang hidupku. Namun aku tak tahu cara mengendalikannya.
      "Aku mengerti kmau belum tahu banyak tentang lelaki yang tergantung di salib ini. Dia lelaki yang memiliki cinta sangat besar. Karena cintanya adalah penyerahan nyawanya sendiri. Sebenarnya kmau gadis kuat yang memiliki hati lembut. Kamu menjadi pendendam karena penderitaanmu semasa kecil."  Rain  mengambil salib itu ke dadanya. Ia memejamkan matanya. Sebelah tangannya diarahkannya kepadaku.
      "Aku akan mentransfer rasa cinta dan energi positif  yang akan kamu simpan dalam jiwamu. Lalu kamu akan bisa memaafkan mereka yang telah menyakitimu dan menjadikan luka-lukamu sebagai ladang kasih bagi sesama. Batalkan keinginanmu untuk menghabisi keluarga Mariokendar. Maafkanlah mereka,"  lanjut Rain.
      Lalu seluruh tubuhku menghangat. Aku seperti melihat  pembantaian yang membuatku menyimpan dendam itu. Awalnya aku sangat takut, lalu muncul rasa benci dan dendam, tapi perlahan semuanya tertutup kabut yang semakin menebal. Lalu aku melihat hal yang baru: seorang perempuan berkerudung yang tersenyum anggun, lelaki berambut gondrong memanggul salib dan jatuh berkali-kali, serta sekumpulan awan yang mengangkatnya ke atas. Lelaki gondrong itu tersenyum sambil membentangkan kedua telapak tangannya yang berlubang. Tiba-tiba  aku merasa bahagia. Â
      "Tugasku selesai. Aku harus pergi. Saatnya kamu membagi apa  yang telah kamu dapat dariku pada sesamamu." Rain tersenyum.
      "Kmu mau kemana? Jangan tinggalkan aku!"  Tiba-tiba aku takut kehilangan Rain. Dia telah membuka sesuatu yang selama ini tak kupunya: rasa cinta. Rain menggelengkan kepalanya. Ia membuka kemejanya. Aku terkejut.
      "Rain? Kamu...sebuah..."
      "Betul Lexa, aku hanya salah satu robot humanoid ciptaan Johan Risang. Meskipun ayah angkatmu  menggeluti bisnis kotor, namun ia tak mau kamu tersesat di jalan yang salah. Kamu harus pulang. Mulailah berbagi kasih dengan sesamamu. Selamat tinggal Lexa."  Rain  menekan tombol berwarna merah di dadanya. Aku menjerit memanggil namanya. Namun terlambat, Rain rontok dalam hitungan detik. Tinggal aku sendirian, termangu antara dendam yang harus kutuntaskan dan rasa bahagia yang baru saja kuperoleh karena memaafkan.
Note: robot humanoid = robot canggih yang penampilan keseluruhannya dibentuk berdasarkan tubuh manusia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H