Aku melihat sekeliling. Jalanan itu sangat sepi. Beberapa meter dariku, tampak sebuah rumah mungil bercat hijau. Suara "beep" pada arloji di tanganku mendeteksi ada seseorang dalam rumah itu. Kuputuskan untuk memasuki rumah itu. Lalu tiba-tiba...
Blam!
Pintu tertutup sendiri. Kutekan tombol stand by pada arlojiku, berjaga-jaga jika ada yang membahayakan. Bunyi "beep" di arlojiku menuntunku ke sebuah arah. Sebuah pintu yang terbuka lebar di bagian dalam ruangan menarik perhatianku. Perlahan kulangkahkan kaki ke sana. Seorang lelaki sedang bertelut menghadap sebuah meja kecil. Nampak dua lilin menyala dan sebuah besi bersilangan seperti tanda plus dengan patung kecil tergantung di depannya.
Aku berhenti sejenak. Ingatanku melayang pada masa kecilku dulu. Ibu sering menempatkan benda seperti itu di ruang keluarga. Lalu kami sekeluarga akan mengelilinginya dan membuat sikap persis seperti yang dilakukan oleh lelaki  itu. Aku merasa nyaman dan tak asing. Dadaku berdesir cepat. Kemudian sesuatu yang basah mengaliri pipiku. Aku seperti sedang merindukan sesuatu.
Lalu lelaki itu menegakkan kepalanya, membuat sebuah gerakan tangan  menyentuh dahi dan dada secara berurutan, persis seperti yang dilakukan kedua orang tuaku dulu. Lelaki itu menoleh padaku dan tersenyum.
      "Akhirnya kamu datang juga," sapanya, seolah telah lama menungguku. Aku memegang arlojiku, bersiap untuk menekan tombol on. Ia mengangkat tangannya
      "Jangan Lexa, aku bukan lawanmu." Ia berjalan mendekatiku.  Dia ternyata tampan sekali. Aku hampir kehabisan napas saat jarak kami tinggal satu langkah lagi.
      "Sssiiapa kamu? Kenapa kau tahu namaku?" tanyaku gugup. Ia mengulurkan tangannya.
"Aku Rain. Aku yang mengarahkan Silia ke sini."
      "Kenapa?" desakku curiga.
"Kita memang harus bertemu. Ada yang harus kulakukan padamu."