Entah berapa lama aku dan ibu berada dalam posisi itu. Kami hanya diam sambil mengenangmu dalam ingatan kami masing-masing. Sampai akhirnya  kusadari bahwa tangan ibu telah berhenti mengelusku. Perlahan kuangkat  kepalaku dari dada ibu. Kulihat ibu memejamkan matanya  dengan senyuman tertinggal di bibirnya. Senyuman bahagia. Seolah ia benar-benar telah bertemu denganmu.
Lalu kurasakan aroma cendana semakin menguat. Aku memandang berkeliling. Kurasakan kehadiranmu begitu dekat. Jantungku kembali berdegup kencang. Kecemasanku memuncak.
Ceklek. Kreeekkk.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka dengan sendirinya. Entah mengapa aku merasa ada yang berkelebat keluar dari kamar menuju ruang tengah. Penasaran, aku bangkit dan melangkah  keluar kamar. Kupandangi ruangan tengah. Tak ada siapa-siapa. Sepi dan dingin.
"Siapa?" tanyaku. Lalu kusadari kebodohanku. Bukankah memang tak ada siapa-siapa di rumah ini selain aku dan ibu? Lalu aroma cendana itu kembali tercium  di seputar ruangan itu. Awalnya begitu kuat namun beberapa saat kemudian terasa samar lalu lenyap. Seakan hanya sekedar numpang lewat. Semua terjadi begitu cepat. Aneh. Biasanya aroma itu hanya tercium  di kamar ibu. Lalu kenapa kini...?
Blam!
Aku tersentak. Pintu kamar ibu tertutup sendiri.
Dengan langkah cepat aku  kembali masuk ke kamar ibu. Kulihat ibu masih memejamkan matanya. Kuusap pipi ibu yang keriput itu dengan tangan gemetar.  Kulit wajah ibu begitu  dingin. Kuraba seluruh tubuhnya. Semuanya dingin. Sangat dingin. Â
"Ibu... Ibu..." Dengan panik kupanggil ibu berkali-kali sambil menggoyangkan tubuhnya. Namun ibu tetap tak bereaksi. Matanya tetap terpejam rapat. Wajahnya begitu damai dan tenang.
"Ibuuuu..." Aku melolong dengan rasa kehilangan yang dalam. Â Ada yang tercabut paksa dari dadaku. Sakit sekali. Kecemasanku beberapa hari terakhir ini telah benar-benar terjadi. Kau membawa ibu pergi.
Cerpen ini dimuat di Majalah Hidup edisi 09, Februari 2021