Mohon tunggu...
Tantrini Andang
Tantrini Andang Mohon Tunggu... Penulis - penulis cerpen dan buku fiksi

menulis itu melepaskan hal-hal yang biasa menjadi luar biasa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Misa Jumat Pertama yang Terakhir

3 Oktober 2020   09:44 Diperbarui: 3 Oktober 2020   09:50 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Tidak mungkin! Ibumu itu..."

"Ibu sudah nggak ada ayah!"

"Hah? Apaaa?" Ario tersentak. Begitu pun aku. Seperti ada yang mengempaskanku saat mendengar  kata-kata Resti  itu. Tiba-tiba saja aku dijalari rasa sedih luar biasa. Bagaimana mungkin?

"Sudah setahun berlalu kenapa Ayah masih seperti ini? Setiap jumat pertama Ayah selalu mengajakku berangkat misa lalu mencari-cari Ibu seolah Ibu masih ada. Ayah lupa? Bukankah Ayah yang menyetir waktu kita misa jumat pertama tahun lalu? Ayah yang membuat Ibu meninggal di perjalanan karena kecelakaan itu. Lalu kita...Lalu kita... tidak pernah misa jumat pertama lagi setelah itu. Berhentilah menipu diri, Ayah. Ibu sudah nggak ada. Resti capek kalau Ayah begini terus!" Tangis Resti mulai meledak. Wajahnya terlihat sedih dan putus asa. Putriku itu berlari ke kamarnya lalu membanting pintu. Aku hanya tergugu memandangnya. Seluruh diriku mendadak lemas tak bertenaga.

Ingatanku pun kembali ke masa itu. Ario memacu mobilnya lebih cepat. Kami memang hampir terlambat. Lima menit lagi misa akan dimulai. Aku sudah memperingatkannya untuk melambatkan mobilnya. Tidak apa kami terlambat sesekali. Namun Ario tidak mau mendengar kata-kataku. Sebuah mobil lain dari arah berlawanan melaju kencang tepat saat Ario membelokkan kemudinya menuju arah gereja. Ia terlambat menginjak rem. Suamiku itu membanting kemudinya ke arah tepi jalan. Sebuah pohon besar menyambut laju mobil kami. Itu terakhir kali kami berangkat bersama menuju gereja untuk mengikuti misa jumat pertama.

Aku menoleh ke arah Ario yang masih berdiri sendirian di ruang tengah. Sesaat ia masih terpaku mendengar debam  pintu kamar Resti. Perlahan kepalanya menoleh  ke arah deretan foto-foto yang terpajang di atas meja. Langkahnya terhuyung mendekati meja itu. Lalu diraihnya fotoku. Itu foto terakhirku saat kami menghabiskan waktu bersama di pantai. Tangan Ario bergetar saat mengelus fotoku itu. Dari mulutnya terdengar suara isakan menyayat. Aku terdiam memandangi bahunya yang terguncang hebat.

(cerpen ini dimuat di Majalah Hidup no 39/ 27 September 2020)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun