"Pulanglah ke rumah. Aku menunggumu." Ibu lalu menyodorkan sebuah kartu nama padaku. Tertulis di sana nama, alamat lengkap serta nomor telpon. Aku hanya menganggukkan kepalaku tanpa menjanjikan apa-apa. Aku belum  bisa membayangkan harus memulai hidupku bersama seseorang yang baru saja kukenal. Meskipun ia adalah perempuan yang melahirkanku. Dalam beberapa saat yang singkat aku dipaksa untuk melihat  potongan hidupku yang lain. Serupa menemukan kepingan  puzzle yang hilang dan harus kususun sendiri dalam gambar yang belum kumengerti.
*****
Setelah kedatangan ibu kandungku, Mamak menyerahkan sebuah buku tabungan kepadaku. Katanya itu adalah gajinya yang diberikan oleh nenek selama merawatku.  "Bagaimana mungkin aku memakan uang dari merawatmu? Aku sangat bahagia dengan kehadiranmu. Itu sudah lebih dari cukup," ucapnya  membuatku terharu. "Gunakan saja uang ini untuk keperluanmu." Mamak tidak ingin menggunakan uang itu untuk kebutuhannya sendiri. Malam itu hatiku semakin berat meninggalkan Mamak. Tak bisa kubayangkan bagaimana aku hidup berjauhan dengan perempuan yang telah bersamaku selama dua puluh tahun ini.
"Maafkan Mamak yang tak pernah memberitahumu tentang asal-usulmu. Selain karena pesan nenekmu, aku sudah lupa bahwa kau bukan anak kandungku. Aku sangat menyayangimu seperti anakku sendiri." Mamak memelukku erat. "Pulanglah pada ibumu. Ia sudah cukup menderita karena kehilangan waktu bersamamu selama ini," lanjut Mamak. Kami pun berpelukan dan bertangisan malam itu.
*****
Suara klakson taksi yang berhenti di depan rumah menyentakkan lamunanku. Mamak  menghentikan kesibukannya membungkus wadah-wadah pempek. Ia mendekatiku dengan bibir gemetar.
"Baik-baiklah kau bersama ibumu. Mamak doakan kau sukses di sana."
"Maaakk..." Aku menghambur dalam pelukan Mamak. Dia seorang tukang pempek yang telah merawatku. Perempuan ini tidak pernah melahirkanku, namun ia mengajariku tentang  kasih sayang seorang ibu.Â
"Aku akan sering-sering menengok Mamak." isakku. Mamak mengelus rambutku. Tak  ada suara isakannya, namun aku merasakan kedua pipinya membasah. Mamak sangat menyayangiku. Aku tahu pasti itu.
Cerpen ini dimuat di Hidup edisi 32, 6 Agustus 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H