Mohon tunggu...
Tantrini Andang
Tantrini Andang Mohon Tunggu... Penulis - penulis cerpen dan buku fiksi

menulis itu melepaskan hal-hal yang biasa menjadi luar biasa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mamak, Perempuan yang Tak Pernah Melahirkanku

13 September 2017   20:43 Diperbarui: 17 Juni 2019   09:48 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Namaku Rosita." Ia mulai bercerita.  "Dulu, pergaulanku terlalu bebas hingga aku hamil. Meskipun begitu aku tetap berpegang pada ajaran gereja yang berpihak pada kehidupan. Aku ingin merawatmu. Namun nenekmu melarangku. Dia juga menolak lamaran ayahmu sebagai bentuk pertanggungjawabannya.  Nenekmu mengirimku bersekolah ke Australia. Sekeras apapun aku memohon untuk bisa melihatmu, nenekmu tidak pernah mengijinkan. Kau telah dilenyapkan dari hidupku." Rosita berhenti sebentar. Diambilnya sehelai tissue dari tasnya yang terlihat mahal. Diusapnya air mata yang mengalir di pipinya. Aku  diam, sementara Mamak  menghela nafas panjang berkali-kali.

"Bertahun kemudian, nenekmu sakit dan memintaku untuk pulang. Awalnya aku menolak pulang. Aku telanjur membencinya. Setelah ia menjanjikan akan memberi informasi tentang keberadaanmu, baru aku  mau pulang. Ternyata kau dititipkan pada seorang pembantu yang pernah bekerja di rumahku, perempuan tukang pempek ini." Rosita menunjuk pada Mamak.

"Tukang pempek ini yang kukenal sebagai ibuku," tukasku cepat. Perempuan bernama Rosita itu menatapku dengan pandangan tidak suka. Ia lalu memalingkan wajahnya pada Mamak.

"Jadi kau tak pernah bercerita tentang siapa dia sebenarnya? Kau juga tak pernah bercerita tentang aku?" tanyanya. Mamak mengeraskan rahangnya.

"Ibumu yang menghendaki demikian. Beliau melarangku menceritakan semuanya." Lalu Mamak menoleh padaku. Ada warna kemerahan di kedua matanya.

"Maafkan Mamak, Ning. Kau harus mengetahui semuanya dengan cara seperti ini." Suara Mamak mengandung penyesalan. Aku diam, tak mampu menyalahkan. Bagaimanapun posisi Mamak pasti sangat sulit waktu itu. Ia hanya menjalankan amanat dari seseorang yang dihormatinya.

Rosita, ibu kandungku itu lalu bercerita bagaimana ia mencari informasi melalui tetangga dan saudara yang lain. Namun hasilnya nihil. Nenek langsung meminta Mamak untuk pulang ke kampungnya di Palembang  untuk merawatku hingga kini.

Kami bertiga menangis bersama, meskipun dengan alasan berbeda. Ibu menangis terharu karena menemukanku. Mamak menangis karena tahu akan kehilangan aku. Sementara aku menyesali jalan hidupku yang menyimpan masa lalu yang buruk.

  Lalu ibu memintaku untuk pulang bersamanya ke Yogyakarta, sebuah kota yang seumur hidup hanya kudengar namanya saja. Aku meminta waktu untuk berpikir.

"Aku telah lama menghabiskan malam-malamku dengan doa novena. Kini aku menemukanmu. Tidakkah kau ingin membayar kebersamaan kita  yang telah hilang?" tanyanya.

"Jangan bersikap egois. Kau harus memahami bahwa Ning masih terpukul  setelah mengetahui jati dirinya secara tiba-tiba. Ning butuh waktu," kata Mamak membelaku. Ibu membelalakkan matanya. Bibirnya bergetar seakan ingin mengucapkan sesuatu, namun kemudian ia urungkan saat melihatku terisak. Ia lalu memelukku erat sambil menangis. Tubuhku meregang kaku. Aku masih merasa canggung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun