Mohon tunggu...
Tantrini Andang
Tantrini Andang Mohon Tunggu... Penulis - penulis cerpen dan buku fiksi

menulis itu melepaskan hal-hal yang biasa menjadi luar biasa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki di Bawah Hujan

18 April 2017   17:06 Diperbarui: 18 April 2017   17:13 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kamu sudah memilih perempuan itu Aryo,  uruslah perempuan itu! Jangan ganggu kami lagi!”

“Seandainya aku tahu waktu itu kamu sedang mengandung anak kita, aku tidak akan meninggalkanmu, Iren. Sudah lima belas tahun berlalu, mengapa kamu masih belum mempercayaiku? Bagaimana dengan anak itu? Ia harus tahu siapa ayahnya!” ucap lelaki itu.

Ibu hampir mengusir lelaki itu lagi saat aku keluar dari dalam kamar. Berdua mereka memandangku. Ibu tampak terkejut dan gemetar, tak kalah gemetarnya denganku. Dadaku serasa sakit saat lelaki itu menatapku dengan tatapan penuh kasih.

“Dia…sangat mirip denganmu Iren…Cantik..” bisiknya dengan suara parau. Ibu lalu menyuruhku masuk. Aku pun menuruti kata-kata ibu dengan membawa  pertanyaan di kepala. Telah sejak lama aku  berhenti menanyakan tentang  keberadaan ayah pada ibu. Aku tak ingin melihat ibu bersedih.. Lelaki itu pasti ayahku!. Ibu membencinya karena saat mengandung aku, ayah meninggalkan ibu demi perempuan lain. Bisa kubayangkan dalamnya luka yang diderita ibu. Aku paham pasti tidak mudah mengasuhku sendirian dengan  membawa rasa sakit di dada. Namun di sisi lain aku juga merasakan kelegaan saat tahu bahwa aku masih punya ayah.

Setelah hari itu, lelaki itu tak lagi muncul. Padahal aku sangat ingin menemuinya, menatap matanya yang sangat mirip dengan mataku, dan menghambur dalam pelukannya... Dalam doa Rosario dan doa-doa Novena yang kudaraskan setiap hari,  selalu kuselipkan permohonan agar ayah tetap gigih mencairkan beku di hati ibu. Luka di hati ibu saat ayah mengkhianati sakramen perkawinan demi perempuan lain mungkin tidak mudah sembuh oleh waktu, namun aku yakin waktu selalu memberi kesempatan untuk memperbaiki segala hal, termasuk cara memaafkan. Bukankah Yesus mengatakan dalam doa yang diajarkannya bahwa kita harus mengampuni kesalahan orang lain seperti Tuhan juga telah mengampuni kita?

Dan sore ini, dua tahun setelah peristiwa itu, doaku terjawab. Di bawah hujan yang tipis, lelaki itu berdiri di seberang jalan. Sebuah payung hitam menaungi tubuhnya.. Dadaku berdetak lebih cepat. Kembali aku terjebak pada situasi yang sulit.  Aku harus memilih di antara dua. Untuk membahagiakan ayah, itu berarti melukai ibu, sementara untuk menuruti keinginan ibu, berarti semakin membuat ayah menderita. Nafasku tertahan beberapa saat. Aku harus memutuskan sesuatu!.

 “Hujan mulai reda Bu..” bisikku. Ibu menganggukkan kepalanya. Kami saling bertatapan. Ibu juga telah melihat lelaki itu berdiri di sana. Aku merasa ibu tahu apa yang kuinginkan saat ini. Namun perempuan itu tak mengatakan apa-apa.. Perlahan kutolehkan lagi kepalaku ke luar. Lelaki di bawah hujan itu sudah tidak ada. Aku terkesiap. Kemana dia? Apakah hanya sampai di situ perjuangannya untuk mendapatkan kami kembali? Tiba-tiba aku merasa kecewa. Segera aku bangkit, menuju pintu, berharap aku belum terlambat, masih bisa menangkap sosok lelaki itu di belokan jalan.

 “Mau kemana?” tanya ibu dengan nada khawatir. Sepertinya ibu tahu apa yang kupikirkan. Aku belum sempat menjawab pertanyaan ibu saat  tiba-tiba dadaku berdegup kencang.  Saat kubuka pintu, lelaki itu telah berdiri di sana. Dilipatnya payungnya yang basah. Matanya menatapku penuh kasih, sama seperti dua tahun lalu.

“Ayah…” bibirku berucap gemetar. Lelaki itu tersenyum lalu mengembangkan tangannya. Tanpa berpikir lama, aku pun menghambur ke dadanya

 “Maafkan ayahmu ini…” Lelaki itu tak kuasa melanjutkan kata-katanya. Aku  tak bisa menghentikan tangisku.. Kami berpelukan dalam rindu yang kami simpan karena sekat luka di hati ibu. Aku tak tahu berapa lama kami saling berpelukan hingga  kudengar suara sedu sedan di belakangku. Ibu memandang kami dengan mata basah dan wajah terharu.

“Ibu, ini ayah. Ayah telah kembali” kataku. Ibu hanya diam. Namun aku lega karena tak ada kata-kata makian lagi yang keluar dari mulutnya. Aku harap ini adalah sebuah awal yang baik. Nyeri  itu mungkin belum bisa terlupakan, namun waktu selalu memberi kesempatan untuk menyembuhkan. Aku sangat yakin itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun