"Akbar yang tinggi itu? Emang dia pernah cerita ke Mas Jundi kalau takut ledakan?" bunda coba mengulik
"Mas Jundi diceritain sama Teh Vidi, dulu waktu Akbar kecil ada yang letusin balon di depan mukanya. Sampai sekarang dia trauma kalau dengar letusan"
Bunda terdiam, mas Jundi bahkan tahu detil latar belakang ketakutan temennya. Anak yang selama ini Bunda anggap keras ternyata menyimpan kelembutan dihatinya. Astagfirullah, saat itu bunda merasa bersalah. Jangan-jangan selama ini bunda kurang peka melihat kebaikan anak-anak.
 Malamnya, bunda ceritakan semua pada Abi.
"Padahal Mas Jundi kalau sama Adek kan keras ya bi, tapi kalau di Ilalang kok beda ya Bi?"Bunda masih mencoba mengkonfirmasi
"ya kalau istilah jawa, Adoh mambu wangi cerak mambu ta* (jauh bau harum, dekat bau kotoran)" terang Abi
"Jadi sebenernya Mas Jundi lembut ya, sayang sama Adek ya, cuma karena sering ketemu jadinya begitu ya. Tapi kalau jauh sayang kan ya" Bunda mencecar banyak pertanyaan sekaligus menjawab sendiri  berusaha meyakinkan hati
"Ya, kalau sama saudara biasanya begitu"jawab abi santai
Dan bunda segera flashback mengingat dulu jaman kecill. Iya juga sih, eyang putri pernah marah pada bunda. Karena bunda 'terlihat' lebih sayang, suka gendong gendong anak tetangga daripada adek sendiri yang sama sama kecil kala itu. Tapi bunda ngerasa biasa aja, tidak menyadari bahwa hal seperti itu terlihat menjadi sesuatu yang jomplang dimata orang tua. Namun setelah dewasa sadar juga sih dan rasa sayang kepada saudara lebih besar  daripada ke  orang lain. Sadar juga bahwa saudaralah orang pertama yang akan membantu jika ada hal yang hal-hal yang terjadi pada kita.
Ya akhirnya bunda berpikir begitulah mas Jundi, dengan tingkah dan pola pikir yang tak jauh berbeda dengan masa kecil Bundanya. Khasnya anak kecil. Kelak ada saatnya dia mengerti. Yang jelas dia adalah permata, anak lelaki yang punya potensi banyak kebaikan. Bundalah yang harus lebih jernih melihat, lebih dalam merasa bahwa begitu luas samudra kebaikan anak-anak yang harus terus bunda jelajahi dan syukuri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H