RUU Ketahanan Keluarga mengandung pasal-pasal yang tumpang tindih dengan undang-undang lain dan dianggap diskriminatif. Selain itu, penulis menganggap bahwa aturan ini tidak relevan dan tidak memperhitungkan kompleksitas kebutuhan masyarakat modern, terutama perempuan yang berperan ganda dalam bekerja dan mengurus keluarga (Chusnul Mariyah Official, 2024). Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa RUU ini tidak mendesak untuk disahkan.
Kesimpulan: Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga (RUU KK) yang diusulkan pada 2020 menuai perdebatan publik karena dianggap mencerminkan norma patriarki yang mendukung domestifikasi peran perempuan. RUU ini bertentangan dengan konsep Gender Harmony yang mengedepankan kesetaraan dan fleksibilitas dalam pembagian peran gender, serta partisipasi perempuan di ruang public. RUU KK dianggap sebagai kemunduran dalam perjuangan mencapai kesetaraan gender karena menetapkan peran gender secara hierarkis dan kaku, mengabaikan realitas sosial di mana perempuan aktif di ruang publik dan domestik. Selain itu, inkonsistensi dengan undang-undang lain dan tumpang tindih regulasi semakin menegaskan bahwa RUU KK tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat saat ini dan berpotensi memperburuk ketidakadilan gender di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H