Artikel ini membahas kontroversi seputar Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga (RUU KK) yang diusulkan pada tahun 2020. RUU ini dikritik karena memperkuat norma patriarki dan membatasi peran perempuan dalam ranah domestik, bertentangan dengan prinsip kesetaraan gender dalam konsep Gender Harmony. Penulis mengeksplorasi ketidakselarasan antara RUU KK dan prinsip Gender Harmony, serta bagaimana regulasi ini menciptakan hierarki peran gender yang mendiskriminasi perempuan. Selain itu, RUU KK dianggap tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat modern dan inkonsisten dengan undang-undang lain.
Munculnya RUU Ketahanan Keluarga (RUU KK) mengejutkan banyak pihak dan menuai kontroversi. RUU Ketahanan Keluarga diusulkan oleh Fraksi Golkar, PAN, PKS, dan Gerindra pada 7 Februari 2020. Tujuan utama RUU ini adalah memberikan perlindungan dan dukungan pemerintah agar keluarga di Indonesia menjadi tangguh dan mandiri, serta merespons kebutuhan akan aturan khusus yang mengatur keluarga secara menyeluruh karena regulasi yang ada dinilai hanya mengatur secara parsial (Ri, n.d.). Namun, beberapa pihak menilai bahwa RUU ini mendorong domestifikasi peran perempuan, bentuk campur tangan negara dalam ranah privat, mengabaikan aspek sosio-budaya dan filosofis, serta membatasi kewajiban antara laki-laki dan perempuan dalam wilayah yang paling fundamental, yaitu keluarga.
Di sisi lain, Gender Harmony menawarkan pendekatan yang berbeda dalam memahami peran gender dalam keluarga. Konsep ini menekankan kesetaraan hak dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam keluarga. Dalam Gender Harmony, kedudukan pria dan wanita dianggap setara dengan penekanan pada kerjasama dan saling dukung tanpa dominasi satu pihak (Kardiana, 2015). Sayangnya, realita sosial di Indonesia masih belum sejalan dengan gagasan ini, terutama karena masyarakat masih terikat dengan norma patriarki yang mendominasi struktur sosial dan politik.
Ini terbukti dari RUU KK yang menunjukkan ketidakselarasan dengan prinsip-prinsip Gender Harmony. Dalam RUU KK, pasal 24 menekankan keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri dalam membina keharmonisan keluarga. Namun, Pasal 25 membedakan peran suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai pengatur rumah tangga (Rastika, 2020). Penulis berargumen bahwa negara telah memasuki ke kamar tidur warga negara. Sesuatu yang sebenarnya tidak boleh dilakukan negara karena menganggu ruang privasi individu. Ketentuan mengenai peran suami dan istri seharusnya bukan urusan negara, melainkan merupakan kesepakatan antara pasangan suami istri. Pembagian peran ini dapat memperkuat struktur patriarki dan ketidakadilan gender yang tentu sangat bertolak belakang dengan konsep Gender Harmony.
Partisipasi perempuan dalam pembangunan juga tampak bertentangan dengan Pasal 25 Ayat 3 RUU KK yang hanya melihat peran perempuan dalam sektor domestik. Ini berlawanan dengan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender. Intruksi Presdien menekankan kesetaraan gender, di mana laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kesempatan yang sama di bidang politik, sosial, ekonomi, serta pertahanan dan keamanan nasional, termasuk dalam berpartisipasi dan menikmati hasil pembangunan bangsa (Nursyifa, 2020). Instruksi ini bertujuan untuk mendorong partisipasi aktif perempuan di luar ranah domestik, sementara RUU KK seolah menempatkan perempuan kembali ke posisi subordinat sebagai pengatur rumah tangga.
Penulis berpendapat bahwa dalam menganalisis RUU Ketahanan Keluarga (RUU KK) dan bagaimana konsep Gender Harmony bertolak belakang dengan regulasi tersebut, penting untuk melihat esensi dari kedua gagasan. RUU KK yang diusulkan pada 2020, sangat kental dengan nilai-nilai tradisional yang mendefinisikan peran gender berdasarkan norma-norma patriarki. Seperti yang tercantum dalam Pasal 25, RUU ini mengatur bahwa suami harus berperan sebagai kepala keluarga, sementara istri berperan sebagai pengelola rumah tangga. Ini memperkuat konsep gender yang hierarkis, di mana peran-peran gender sudah dipatok dalam kerangka tradisional dan membatasi perempuan pada ranah domestik.
Sebaliknya, konsep Gender Harmony merupakan pendekatan yang menekankan kerja sama dan kesetaraan, antara laki-laki serta perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Gender Harmony menolak pembagian peran yang kaku berdasarkan jenis kelamin dan lebih menekankan pada peran dinamis yang bisa disesuaikan dengan keinginan serta kapasitas individu, terlepas dari gender mereka. Pendekatan ini mengakui bahwa baik laki-laki maupun perempuan berhak untuk berpartisipasi dalam ranah publik maupun domestik tanpa adanya pemaksaan peran yang dibatasi oleh norma-norma tradisional.
Hubungan yang bertolak belakang ini terlihat dari fakta bahwa RUU KK mencoba untuk mengontrol, membatasi, dan mengarahkan peran gender dalam konteks keluarga dengan memberikan kerangka yang kaku dan tidak fleksibel. Gender Harmony, di sisi lain, mengedepankan fleksibilitas dan kesetaraan dalam pembagian peran serta tanggung jawab. Ketika RUU KK menempatkan perempuan dalam posisi yang lebih subordinat, Gender Harmony justru bertujuan untuk menghapus hierarki dan memberikan peluang yang setara bagi laki-laki serta perempuan dalam pengambilan keputusan di rumah ataupun ranah publik.
Lebih jauh, usulan peraturan ini juga dinilai mengalami hiper regulasi dan inkonsistensi dengan undang-undang lain, seperti UU Ketenagakerjaan, UU Kesehatan, UU Perkawinan, dan UU KDRT. Contohnya, Pasal 29 RUU KK memberikan hak cuti melahirkan dan menyusui selama enam bulan, bertentangan dengan Pasal 82 UU Ketenagakerjaan yang hanya mengatur cuti selama tiga bulan. Selain itu, RUU ini hanya berlaku untuk instansi pemerintah dan BUMN/BUMD, tidak mencakup pekerja perempuan di sektor swasta (Amindoni, 2020). RUU KK juga mengatur larangan jual beli sperma dan ovum di Pasal 31 dengan sanksi diatur dalam Pasal 139 dan 140. Padahal sebelumnya, larangan donor ovum sudah tercantum dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang didasarkan pada prinsip kemanusiaan, keadilan, gender, hak dan kewajiban, serta norma agama (Nursyifa, 2020).
Penulis melihat bahwa RUU Ketahanan Keluarga (RUU KK) menjadi kemunduran dalam perjuangan mencapai kesetaraan gender karena membatasi peran perempuan hanya pada ranah domestik, mendefinisikan mereka sebagai istri dan ibu. Ini memperkuat gagasan tradisional bahwa tempat perempuan adalah di rumah yang bertentangan dengan hak untuk bekerja dan berpartisipasi di ruang publik (Chusnul Mariyah Official, 2024). RUU ini mengabaikan realitas sosial di mana banyak perempuan bekerja dan menjadi tulang punggung keluarga, serta mereduksi peran perempuan hanya dalam fungsi biologis dan domestik yang dapat memperburuk ketidakadilan gender. Hal ini menunjukkan bahwa harapan akan Gender Harmony di Indonesia akan sulit dicapai dan hanya akan menjadi mimpi indah, mengingat kurangnya dukungan pemerintah akan kesetaraan gender.