Mohon tunggu...
Tanti Rizkian Sari
Tanti Rizkian Sari Mohon Tunggu... Guru - Curious Person

Life for Learning

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kampus, Tak Seindah Suguhan Sinetron

10 Juli 2017   11:36 Diperbarui: 11 Juli 2017   12:18 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mahasiswa. Siapa yang tak kagum ketika mendengar kata mahasiswa. Sebuah nama yang begitu diagungkan oleh pelajar-pelajar di seluruh dunia. Hampir semua pelajar begitu mengangankan predikat sebagai mahasiswa. Maha yang artinya agung atau besar, mendefinisikan bahwa mahasiswa adalah predikat yang memiliki status tertinggi diantara para siswa.

Seluruh kalangan siswa berbondong-bondong mengikuti tes masuk ke perguruan tinggi, entah itu perguruan negeri atau swasta, entah masuknya secara murni atau "lewat belakang", entah harus merantau atau pulang pergi, entah dan entah, hanya untuk mendapatkan status mahasiswa. Begitu hebatnya daya pikat kata mahasiswa.

Menjadi mahasiswa adalah pintu terakhir secara formal untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Memang diluar dari perguruan tinggi kita dapat mencari ilmu dimana saja dan kapan saja. Namun perguruan tinggi tidaklah sehebat, seasik, dan sesantai seperti yang diangankan oleh para siswa yang masih duduk di bangku sekolah. Fenomena-fenomena kehidupan kampus yang dilihat mereka hanya sebatas kulitnya saja, dan sebagian besar kehidupan kampus layaknya syurga mereka dapatkan melalui sinetron di televisi.

Memang, karena mahasiswa adalah tingkat teratas dari predikat pelajar mengharuskan sistem pembelajaran juga lebih ditingkatkan dan lebih sukar. Tetapi disini penulis ingin menekankan bahwa dunia perkuliahan tidak seringan layaknya yang terbayang di otak-otak para siswa.

Banyak anggapan-anggapan bahwa dunia perkuliahan adalah syurga para mahasiswa untuk bermalas-malasan. Jadwal perkuliahan tak tentu, dosen semaunya tak masuk, dapat menitip tanda tangan kehadiran, absen semaunya, berpakaian sebebas-bebasnya, penamilan seadanya bahkan tata krama tak diindahkan. Fenomena-fenomena seperti ini selalu menjerat pikiran-pikiran hampir seluruh pelajar.

Dunia perkuliahan benar-benar menuntut kita untuk mengikuti alur pembelajaran dosen. Tidak ada kata sebentar, mampu atau tidak seorang mahasiswa harus mengikuti alur tersebut. Apabila gagal pada suatu mata kuliah maka harus mengulang di tahun depan. Di dunia kampus, kita akan berjumpa dengan beranegaragam karakter, rupa, gender, status, suku, ras, etnis, agama, dan berbagai macam perbedaan-perbedaan lainnya yang sama-sama memiliki tujuan. Disini, sikap toleransi benar-benar dituntut untuk diwujudkan. Dari keberagaman tersebut kita akan mampu berbaur dan bersatu untuk mewujudkan tujuan yang sama-sama ingin dicapai.

Perjuangan mahasiswa bukan hanya berfokus pada akademik saja, namun mahasiswa juga harus berjuang bagaimana memahami watak dari dosennya. Terkadang mahasiswa yang memiliki intelektual tinggi namun tidak mampu memikat kesan baik dari dosen maka sama saja mahasiswa tersebut tidak akan diperhatikan oleh dosennya.

Terlalu banyak kesan-kesan berbeda dari syurga yang diangankan para pelajar dari dunia perkuliahan. Dan mereka akan merasakan sendiri ketika mereka memiliki predikat sebagai mahasiswa.

Hidup mahasiswa!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun