Mohon tunggu...
tanralam
tanralam Mohon Tunggu... -

bukan sesiapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ibu

7 Mei 2015   12:14 Diperbarui: 12 Agustus 2015   05:24 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mengantar ibu ke Tembok China menjadi megaproject kami. Sungguh kami bukan orang yang berlimpah harta, tetapi keinginan untuk mewujudkan mimpi ibu adalah segalanya.

Ibu penyuka sejarah, maka waktu lima hari di Beijing diatur agar ibu bisa mendatangi beberapa tempat bersejarah. Tetapi tetap saja ibu berbisik, “Kapan ke Tembok Besar?”
“Besok, Bunda.” Jawabku. “Sabar, ya. Kita ikuti jadwalnya saja. Mungkin memang seperti ini rutenya.”

Hari ketika akhirnya melihat Tembok Besar China adalah hari di mana mata ibuku berbinar dalam senyum. Kami mengenyahkan kursi roda ibu dan menemaninya berjalan perlahan menikmati tempat itu. Rasanya waktu berhenti berdetak ketika melihat ibu merekatkan tangannya lama ke Tembok China. Ah, ibuku yang sabar dan hampir-hampir tak pernah meneteskan air mata, bahunya tetap saja bergetar meski sangat halus. Kami biarkan ibu lama di sana, berdiri merekatkan tangan di tembok itu membelakangi kami. Entah apa yang ada di relung hatinya. Ketika ibu berbalik lagi, kami tahu, tak ada lagi yang ibu inginkan.

Beberapa bulan kemudian kami mengantar ibu “pergi”. Belum pernah sekalipun ibu sakit berat dan harus di rawat di rumah sakit. Inilah kali pertama kami menemani ibu di rumah sakit, juga kali terakhir. Hari itu hari ke lima. Sudah dengan sangat halus kami meminta semua keluarga dan kerabat tak lagi menjenguk ibu. Jika itu adalah hari terakhir kami bersama ibu, kami ingin hanya ada kami anak-anaknya di sekelilingnya. Kami berharap suara-suara terakhir yang ibu dengar adalah suara kami yang melantunkan doa dan menyampaikan rasa sayang.

Hari itu tanpa sepenuhnya sadar seusai subuh kami semua mandi, memakai pakaian terbersih hingga rasanya cukup suci untuk mengantar ibu menghadap Rabbnya. Di sisi ibu, kami bergantian shalat dan mengucapkan segala doa yang kami punya. Selepas tengah malam tadi kesadaran ibu hampir-hampir menghilang.

Salam setelah dua rakaat baru saja usai ketika rasanya menoleh untuk melihat ibu tak lagi tertahankan. Nafas ibu mulai satu-satu. Kulihat kakak dan adik-adikku meneteskan air mata, mereka mengatupkan bibir menahan rasa. Tak ada suara. Ruangan itu menjadi begitu hening.

Saya meninggalkan tempat bersujud mendekati ibu dan mencium pipinya. Membisikkan rasa sayang kami semua. “Bunda, kami semua sayang.. sangat sayang dan berterima kasih sudah membesarkan kami dengan sabar dan baik hati. Jika hendak kembali kepada Tuhan, kembalilah dengan segenap doa kami. Jangan risaukan apapun, semua anak Bunda ada di sini. Bunda tahu kami semua menemani Bunda. Sepanjang waktu doa kami menderas memohon Allah menyambut Bunda dengan sayang .”

Saya masih memeluk ibu sambil membisikkan bujukan Tuhan kepada hamba-hambaNya untuk kembali kepadaNya dengan rela ketika seseorang menarik bahuku. Kudengar suara kakakku berkata, “Biarkan dia saja.”

Saya menoleh, seorang perawat, sejawat kakakku. Entah sejak kapan ia berada di sana. Ketika melihat nafas ibuku mulai berhembus pelan, ia memaksa. Bukan begitu caranya, katanya. Ia merangsek mendekat dan membisikkan kalimat Tauhid di kuping ibu.

“Bisakah saya saja?” pintaku halus. Saya ingin hanya suara kami yang ibu dengar. Suara yang ibu tahu mengasihinya sepenuh jiwa. Perawat itu menatap tak senang tetapi bersedia mundur.

Sepanjang waktu yang sedikit itu hingga ibu “pergi” saya terus memeluk ibu, menggenggam tangannya, membelai rambutnya menyampaikan sayang dan membisikkan bujukan Tuhan kepada Jiwa ciptaanNya untuk kembali kepadaNnya dengan hati rela dan diridhai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun