Mohon tunggu...
tanralam
tanralam Mohon Tunggu... -

bukan sesiapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ibu

7 Mei 2015   12:14 Diperbarui: 12 Agustus 2015   05:24 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

[kembalilah kepada Tuhan dengan rela dan diridhai]

Ibuku suka membaca, sangat rakus malah. Apa saja dibacanya. Di waktu kami kecil, ibuku punya banyak novel. Setiap hari kami melihatnya membaca. Jika ibu membaca sambil selonjoran bersandar di tumpukan bantal di tempat tidur, saya suka berbaring di sisinya mengintip apa yang sedang ibu baca dan meminta ibu menceritakan sedikit saja apa isi buku itu. Setelah besar saya tahu, permintaanku itu terkadang menyulitkan ibu.

Di masa kuliah saya tak pernah lagi melihat ibu membaca novel. Ia menghabiskan waktu membaca koran dan majalah juga buku-buku yang sengaja kami bawakan untuk beliau. Pun ibu suka mendengarkan siaran berita. Dari TV tentu saja. Mendengarkan, karena ibu melakukannya sambil merawat bunga-bunganya di teras samping. Maka bagi dua orang kakak perempuanku, itu sungguh sebuah anugerah. Mereka tak harus bersusah payah membaca dan mempelototi layar kaca untuk tahu perkembangan terkini. Ibulah sumber informasi utama mereka.

Di tahun-tahun terakhir kehidupan ibu, pagi hari baginya adalah beberapa edisi koran dan sebuah kursi di ruang tamu yang hening. Jika mendekati kami yang suka berlama-lama ngobrol di meja makan, bisa dipastikan ibu sudah melahap berita-berita utama di koran-koran tersebut. Maka sarapan bagi kami adalah mengisi perut dan mengisi pikir dengan informasi baru. Ibu akan menyuap makanannya dengan lambat dan menceritakan kembali apa saja yang telah dibacanya. Sesekali ibu meminta kedua kakakku untuk lebih rajin membaca. Mereka menurut ibu, sangat malas membaca. Kakakku akan tertawa dan berkata, “Bunda sudah menceritakan segalanya. Kami tak perlu lagi membaca.” Ibuku mengabaikan itu. Ia kembali mengulas berita pagi.

Mungkin kami masih sangat kecil ketika ibu membaca fakta, bahwa satu-satunya bangunan di bumi yang bisa dilihat dari bulan adalah Great Wall di China. Barangkali sejak saat itu pula ibu membangun mimpi untuk mengunjungi tempat itu. Bermimpi, karena ibu hampir-hampir tak percaya ia bisa ke sana. Ia hanya punya pensiunan polisi yang kecil dari mendiang suami dengan enam anak yang harus dihidupi.

Adik lelaki bungsuku yang mewarisi selera baca ibu masih mengingat “mimpi” itu ketika kami semua sudah hampir melupakannya. Mungkin karena ia masih sangat kecil ketika kami semua sudah beranjak besar. Dialah yang menemani ke mana pun ibu pergi dan mendengarkan “hati” ibu. SD kelas satu atau dua, ketika ia diledek oleh teman kuliah kakakku dengan bertanya, ”Apa kamu tak bosan menemani Bunda ke mana saja?”
“Saya tahan bosan,” jawab adikku gagah. Sejak itu ia disapa; Hai, Tahan Bosan!

Usia ibuku sudah senja ketika ia divonis mengidap kanker getah bening. Magrib belum berlalu ketika suara adik perempuanku di telepon terdengar sarat tangis saat bercerita. “Bunda sejak kemarin demam. Di sisi lehernya ada sebuah benjolan kecil. Kubawa ke dokter tempat aku kerja dan sekarang saya memegang hasil labnya. Bunda sakit, kanker getah bening.” Tangisnya nyaris tak tertahan.

Ketika tangis itu akhirnya reda, adikku bertanya, “Apa yang harus kujawab kalau Bunda bertanya ia sakit apa? Ia pasti bertanya!”

“Katakan, Bunda hanya demam. Dengan istirahat beberapa hari Bunda akan sembuh.”

Pada akhirnya kami semua sepakat, ibu tak harus tahu apa sakitnya. Ibu sudah tua dan dokter tak hendak mengoperasinya. Tubuh ibu tidak akan kuat menerima operasi itu, kata dokter. Maka mari lakukan yang terbaik bagi ibu.

Kami mulai mengingat-ingat apa yang ibu ingin dan belum kami penuhi. Mimpi utama setiap muslim untuk berhaji sudah kami penuhi, umroh setelah berhaji pun sudah. Sekali waktu dalam sebuah kesempatan berkunjung ke luar negeri, kakakku membawa ibu serta. Maka apa lagi? Adik bungsuku yang tinggal di pulau berbeda tiba dengan dua kata: Tembok China. Maka kami pun mengupayakan kesempatan itu. Waktu ibu mungkin sudah tak lama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun