Mohon tunggu...
tanralam
tanralam Mohon Tunggu... -

bukan sesiapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menjadi Manusia yang Indah

2 April 2010   16:41 Diperbarui: 12 Agustus 2015   05:18 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saksi mata itu datang tanpa mata.

Pernah dengar kalimat itu? Tidak....??  Ya, sudah tidak apa-apa. Sebentar lagi  juga tahu.

Menurutku kalimat itu dahsyat. Tak bisa hilang dari ingatanku. Padahal kalimat itu kubaca di kumpulan cerpen "Saksi Mata", karya Seno Gumira Ajidarma [SGA], salah satu cerpenis terbaik negeri ini, lebih dari 10 tahun yang lalu.

Saya selalu bertanya dari manakah ia menemukan kalimat itu? Karena kemudian itu menjadi awal dari sebuah cerpen yang menggambarkan dengan begitu baik keadaan di negeri ini bertahun lewat. Tidak boleh melihat, berbicara dan memberi kesaksian.

Penasaran? Ini sedikit dari cerpen itu:

"Saudara Saksi Mata."
"Saya, Pak."
"Di manakah mata saudara?"
"Diambil orang, Pak."
"Diambil?"
"Saya, Pak."
""Maksudnya dioperasi?"
"Bukan, Pak. Diambil pakai sendok."

 

 

 

 Nah, kan. Kubilang dahsyat [jangan menggeleng, itu melukai hatiku.... hatciiii... bersin deh...]

Sesungguhnya bukan cerpen itu yang ingin saya bagi sebagai sebuah pengalaman. Saya tengah membaca kumpulan cerpen itu ketika tanpa segaja bertemu SGA di Bandara Hasanuddin saat  mengantar kepergian seorang teman... [entah kenapa dulu saya selalu kebagian peran sebagai pengantar, kalau tidak ke bandara ya ke pelabuhan. Lalu saya pun ditinggal.....  Jangan menangis untukku. Dulu pun saya tak menangis...sok banget akyu ini... seolah-olah ada yang akan prihatin]

Mulanya saya ragu mendekati SGA. Sebenarnya saya memang selalu ragu untuk memulai berbincang  dengan seseorang yang baru kutemui. PDku  akan sukses meluncur ke titik nol. Tapi kesadaran bahwa saya tidak akan memiliki kesempatan yang sama, selalu menjadi pemicu yang bagus untuk memompa keberanian. Dia penulis yang tak akan kulewatkan karyanya, apalagi kesempatan untuk berbincang. Maka kukerahkan seluruh keberanian yang tak pernah benar-benar kumiliki, lalu mendekatinya.

Thanks God, dia luar biasa baik. Dia berbincang seolah mengenalku 100 tahun yang lalu [ga usah dibaca ulang. Saya benar-benar menulis angka seratus]. Itu alasan yang bagus untuk berdoa kepada Tuhan, semoga keberangkatan pesawatnya tertunda. Dan ketika benar-benar ditunda, saya nyaris bersorak girang. Dua jam. Waktu yang cukup untuk “mencuri’ ilmunya.

Begitulah. Dia berbicara banyak dan saya menyerapnya seperti kerakusan sebuah spons kering yang baru bertemu air. Sampai kemudian saya mendapatkan keberanian untuk bertanya, “Mas, kalimat-kalimat hebat yang dituangkan di cerpen itu, dapatnya dari mana?”

Dia berkata dengan senyum. “Lihat sekeliling kita. Serap semua keindahan yang ada. Jadikan hati dan pikiran serta keseluruhan tubuh kita sebagai sebuah keindahan. Karena dari sebuah keindahan mustahil  keluar hal-hal yang buruk.”

Saya terperangah. Sesederhana itu??

Tapi sungguh, setelah itu saya bukan lagi orang yang sama. Bukan karena saya ingin menjadi penulis yang hebat seperti dia. Tapi karena saya mendapatkan sesuatu yang hebat untuk menemani hidupku selanjutnya. Hari itu kudapat sebuah cara melihat  hidup yang rasanya sudah kucari sepanjang umur... [saya juga akhirnya tahu, kenapa Tuhan berbaik hati hanya memberiku peran  sebagai penggantar ke bandara atau pelabuhan lalu ditinggal...tak ada alasan untuk menitikkan air mata, bukan?]

Mau tahu kelanjutan cerpen itu... karena ternyata pencongkelan itu hanya terjadi dalam mimpi. Indonesia di Orde Baru sungguh sangat luar biasa, karena mimpi buruk pun bisa menjadi kenyataan...

“Ngomong-ngomong, kenapa saudara diam  saja ketika mata saudara diambil dengan sendok?”

“Mereka berlima Pak.”

“Saudara kan bisa teriak-teriak atau melempar barang apa saja di dekat saudara atau ngapain kek supaya tetangga mendengar dan menolong saudara. Rumah saudara kan di gang kumuh, orang berbisik di sebelah rumah saja kedengeran, tapi kenapa saudara diam saja?’

“Habis terjadinya dalam mimpi sih Pak.”

Seperti itulah. Makin penasaran...???  Baca deh edisi lengkapnya [ini kampanye terang-terangan untuk mengajak mencintai sastra Indonesia.... ]

Kukasih bocoran ya... suasana di pengadilan menjadi riuh karena jawaban itu. Karenanya  pengadilan  ditunda untuk dilanjutkan besok dengan agenda mendengar kembali  kesaksian Saksi Mata itu. Dan ini dia endingya:

Ketika  hari sudah malam, Saksi Mata yang sudah tidak bermata itu berdoa sebelum tidur. Ia berdoa agar kehidupan di dunia yang fana ini baik-baik saja adanya, agar segala sesuatu berjalan dengan mulus dan semua orang bahagia.

Pada waktu tidur lagi-lagi ia bermimpi, lima orang berseragam ninja mencabut lidahnya –kali ini menggunakan catut.

Luar biasa kan?

Tapi bukan cerpen itu yang sesungguhnya yang ingin  kuceritakan. Bukan pula pertemuan di bandara dengan penulisnya. Tapi kata-katanyalah  yang ingin kubagi. Tapi bagaimana mungkin saya langsung menuliskan nasihat indah itu tanpa prolog??  Ahh, akan terdengar seperti lagu tanpa intro, seperti ikan tanpa air, seperti mawar tanpa duri, seperti kamu tanpa saya [lebay dech...]

Jadi ini dia lagunya:  Jadikanlah kesuluruhan dirimu indah, karena mustahil dari keindahan keluar  hal-hal yang buruk.

Asyik kan..???  Jangan malu-malu memberikan saya tepuk tangan yang meriah!!!

[Masih lebay juga....]

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun