Saya terperangah. Sesederhana itu??
Tapi sungguh, setelah itu saya bukan lagi orang yang sama. Bukan karena saya ingin menjadi penulis yang hebat seperti dia. Tapi karena saya mendapatkan sesuatu yang hebat untuk menemani hidupku selanjutnya. Hari itu kudapat sebuah cara melihat hidup yang rasanya sudah kucari sepanjang umur... [saya juga akhirnya tahu, kenapa Tuhan berbaik hati hanya memberiku peran sebagai penggantar ke bandara atau pelabuhan lalu ditinggal...tak ada alasan untuk menitikkan air mata, bukan?]
Mau tahu kelanjutan cerpen itu... karena ternyata pencongkelan itu hanya terjadi dalam mimpi. Indonesia di Orde Baru sungguh sangat luar biasa, karena mimpi buruk pun bisa menjadi kenyataan...
“Ngomong-ngomong, kenapa saudara diam saja ketika mata saudara diambil dengan sendok?”
“Mereka berlima Pak.”
“Saudara kan bisa teriak-teriak atau melempar barang apa saja di dekat saudara atau ngapain kek supaya tetangga mendengar dan menolong saudara. Rumah saudara kan di gang kumuh, orang berbisik di sebelah rumah saja kedengeran, tapi kenapa saudara diam saja?’
“Habis terjadinya dalam mimpi sih Pak.”
Seperti itulah. Makin penasaran...??? Baca deh edisi lengkapnya [ini kampanye terang-terangan untuk mengajak mencintai sastra Indonesia.... ]
Kukasih bocoran ya... suasana di pengadilan menjadi riuh karena jawaban itu. Karenanya pengadilan ditunda untuk dilanjutkan besok dengan agenda mendengar kembali kesaksian Saksi Mata itu. Dan ini dia endingya:
Ketika hari sudah malam, Saksi Mata yang sudah tidak bermata itu berdoa sebelum tidur. Ia berdoa agar kehidupan di dunia yang fana ini baik-baik saja adanya, agar segala sesuatu berjalan dengan mulus dan semua orang bahagia.
Pada waktu tidur lagi-lagi ia bermimpi, lima orang berseragam ninja mencabut lidahnya –kali ini menggunakan catut.