Mohon tunggu...
tanralam
tanralam Mohon Tunggu... -

bukan sesiapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kulihat Bapak Ditodong Senjata

4 Juni 2014   05:14 Diperbarui: 12 Agustus 2015   07:14 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bapak hanya berhadapan dengan satu atasan dan meski tahu tak bersalah, menerima di penjara. Ketika  atasan lebih tinggi memintanya pindah tugas untuk meredam ketegangan,  dengan segera bapak mengiyakan.  Buat serdadu --waktu itu polisi masih bagian dari ABRI-- hanya ada satu pilihan, menjaga tak ada gejolak berarti di manapun ia bertugas.

Maka ketika disodori buku  Prabowo Sang Kontroversi yang ditulis Erros Djarot dkk yang merupakan DetakFiles,  dan membaca jawaban Prabowo tentang tudingan penculikan  yang mungkin ia lakukan, saya mulai faham apa yg terjadi.  "Heran saya, kenapa sih kalian senang betul  menempatkan saya sebagai  biang keladi penculikan. Pokoknya no comment". (hal.12)

Jadi akan tetap diam dan membiarkan seluruh prasangka berkembang?
Biarkan saja orang berburuk sangka pada saya. Bersikap pasrah pada sang pencipta  membuat saya tenang. Apalah arti pangkat dan jabatan. Saya seorang prajurit yang mengabdi pada bangsa dan negara Indonesia. Bila harus, nyawa saya pun siap saya serahkan untuk Ibu Pertiwi. (hal.13)

Dan dengarlah jawaban terakhir ini:

Harapan anda ke depan?
Harapan saya  agar masyarakat  tahu; saya ini seorang prajurit TNI. Saya rasa itu saja!

Jadi, itulah segalanya. Prabowo hanya prajurit TNI.

***

Kembali ke kisah bapak.  Akhirnya saya tahu bapak diadili malam itu karena menolak  keinginan atasan. Saya tak akan  mengatakan apa perintah itu.  Tetapi saya rasa bapak dan atasan  bapak itu sama baiknya.  Atasan bapak sangat berhak murka, perintahnya tak dijalankan.  Jika kita pernah berada dalam lingkungan yang penuh hirarki,  kita tahu  penolakan pada perintah atasan adalah pelanggaran berat.

Tetapi kemarahan atasan bapak hanya sampai di situ. Perintah penembakan pun dibatalkan dan bahkan memberikan sebuah kursi agar bapak  dapat duduk nyaman menerima kemarahannya. Akhir ceritanya sangat klise. Atasan bapak tak memperpanjang persoalan karena perintahnya tak dilaksanakan. Bapak menerima dipenjara karena sadar menolak perintah atasan. Dan pada akhirnya menerima dengan lapang dada perintah mutasi.

Kisah bapak hanya kisah dalam radius wilayah yang sangat sempit.  Mari berbicara tentang Prabowo. Ada banyak kisah yang  tersembunyi di sana. Kita tak akan faham pilihan-pilihan yang diambil hingga kita sendiri berada di dalamnya. Tak perlu dikisahkan lagi. Semua kita tahu, prajurit hanya menerima perintah atasan.  Dalam hal ini selalu ada beberapa level atasan yang tahu sebuah perintah, tak berhenti di atasan langsung prajurit yang bertugas.

Saya jadi bertanya-tanya apakah mungkin tudingan ke arah Prabowo sebagai orang yang paling bertanggungjawab atas penculikan aktivis sama seperti kisah perseteruan bapak dengan atasannya, tetapi dalam skala yang jauh lebih luas, lebih kompleks, lebih banyak rahasia dan juga lebih banyak meminta pengorbanan Prabowo sendiri? Melanggar perintah atasan bagi bapak  hanya berujung pada mutasi. Prabowo harus menanggungkan rasa pahit dikeluarkan dari institusi yang menjadi pilihan pengabdiannya pada negara.

Pertikaian itu mungkin saja sangat dalam dan membuat jurang pemisah yang sangat lebar di antara kelompok-kelompok yang berseberangan. Tetapi yang saya fahami, ketika bahaya mengancam negara, maka prajurit-prjaurit itu akan berdiri di atas kepentingan negara, mengesampingkan pertikaian dan menanggung sepahit apapun luka yang timbul.

Maka saya kira, sampai kapanpun jawaban atas pertanyaan siapa yang paling bertanggung jawab atas  penculikan aktivis menjelang keruntuhan  Soeharto akan tetap menjadi misteri bagi semua kita.  Dari cara penculikan dan interogasi yang dialami, Andi Arif, salah satu aktivis yang diculik menyakini itu adalah kerja institusi, tak bisa disalahkan ke oknum atau kesatuan tertentu. "ABRI itu sistemnya ketat, sistem komando, kesalahan sedikit pasti bisa dilihat oleh atasan.... Dalam institusi serapi ABRI, kesalahan prosedur mestinya dihitung dalam detik atau menit. Saya nggak  yakin kalau itu kesalahan prosedur." ( Prabowo Sang Kontroversi, 31).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun