Bumi Semenanjung Korea berguncang, tentu saja ini bukanlah ulah alam. Sudah menjadi agenda tahunan Korea Utara melakukan uji coba rudal balistik antarbenua (ICBM) mereka yang tentu saja meningkatkan kekhawatiran di daerah Semenanjung Korea hingga ke wilayah Kepulauan Jepang. Dalam hal ini Korea Selatan dan Jepang tentu saja memiliki sistem yang sangat mumpuni untuk mendeteksi peluncuran rudal tersebut, baik saat diluncurkan, saat mengudara, hingga jatuh ke wilayah lautan. Namun, jika terjadi hal yang sangat tidak diinginkan seperti malfungsi sistem koordinasi rudal maupun terjadinya konflik berskala tinggi. Kedua negara tersebut tentu saja sudah siap untuk mencegah rudal tersebut jatuh ke daratan mereka. Tapi, eskalasi konflik tentu saja tak dapat terbendung jikalau sebuah rudal balistik antarbenua yang dapat diberi hulu ledak nuklir ditembak jatuh oleh Korea Selatan atau Jepang. Dari sini kita mengetahui bahwa Korea Selatan dan Jepang mempunyai sistem ataupun alutsista yang mumpuni untuk mendeteksi rudal Korea Utara demi menjaga kedaulatan wilayahnya. Untuk itu mari kita telusuri lebih dalam sistem mumpuni apa yang mereka perdayakan.
Sebelumnya kita harus mengetahui ancaman rudal seperti apa yang dihadapi oleh Korea Selatan. Korea Utara hingga sejauh ini diketahui memiliki berbagai jenis rudal balistik, yaitu : rudal balistik jarak pendek Hwasong-5 dan Hwasong-6 dengan kemampuan jelalah 300-500 km; rudal balistik jarak sedang Nodong atau Hwasong-7 dengan jarak jangkau hingga 1.000 km; rudal balistik jarak menengah Hwasong-12 jarak jangkau hingga 5.000 km; dan yang paling terbaru adalah rudal balistik antarbenua Hwasong-17 dan Hwasong-18 dengan jarak jangkau hingga 13.000 km. Dari yang telah disebutkan ternyata masih banyak lagi jenis rudal balistik dengan berbagai ukuran dan daya jangkau yang dimiliki Korea Utara. setiap rudal dapat dipersenjatai dengan hulu ledak nuklir hingga berhulu ledak kimia dan biologis. Tak sampai disitu, Korea utara juga mengembangkan rudal balistik yang dapat diluncurkan dari kapal selam terbaru mereka "Hero Kim Gun-Ok" dengan nomor lambung 841 yang diluncurkan pada September 2023.
Mengenai hal ini Korea Selatan memiliki sistem pertahanan udara MIM-104 Patriot. Korea Selatan memiliki sistem baterai Patriot PAC-2 sebagai hanud mereka dan juga sistem buatan dalam negeri KM-SAM, kedepannya mereka akan menggantikan sistem Patriot PAC-2 dengan Patriot PAC-3 yang lebih modern. Sistem Patriot PAC-3 dapat mencegat rudal jarak pendek dan menengah dengan cara menabrakan rudal tersebut dengan kecepatan tinggi ke arah rudal lawan maupun dengan meledakan hulu ledak yang berjarak dekat dengan rudal lawan. Namun sistem ini hanya mampu melawan ancaman di ketinggian kurang dari 25 km dan pada jarak 35-40 km. Oleh karena itu, Korea Selatan pada tahun 2016 melakukan kerjasama dengan Amerika Serikat untuk menaruh sistem pertahanan udara Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) di Korea Selatan sebagai bentuk respon terhadap ancaman rudal balistik Korea Utara. Tak hanya Korea Selatan, Jepang pun ikut serta, namun bukan sistem pertahanan THAAD yang mereka mau, tetapi sistem deteksi Aegis Ashore walaupun akhirnya mereka membatalkan hal tersebut dan lebih memilih mempersenjatai kapal perusak mereka dengan sistem Aegis.
THAAD mampu mencegat berbagai jenis rudal balistik mulai dari rudal balistik jarak pendek, sedang dan rudal balistik menengah yang terbang memasuki atmosfer. Sistem THAAD terdiri atas lima komponen utama, yaitu: rudal pencegat, tabung peluncuran, radar AN/TPY-2, firing control unit, dan peralatan pendukung termasuk unit pembangkit listrik . Sistem ini mampu mendeteksi dan melacak target pada jarak sekitar 1000 km dengan radar cross section sebesar 1 m2.
Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Jepang bekerja sama dalam perjanjian trilateral untuk berupaya meningkatkan keamanan dan stabilitas regional di wilayah Semenanjung Korea, terutama mencegah ancaman rudal balistik berhulu ledak nuklir yang diluncurkan oleh Korea Utara. Kerja sama ini meliputi: latihan trilateral; kerja sama pertahanan; pertukaran informasi seperti berbagi data peringatan rudal secara real-time guna mendeteksi rudal balistik yang diluncurkan oleh Korea Utara; serta berkontribusi pada perdamaian dan stabilitas di Semenanjung Korea, kawasan Indo-Pasifik dan sekitarnya.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Walaupun tidak secara langsung berhadapan dengan konflik di Semenanjung Korea. Tetapi peningkatan eskalasi konflik dapat merembet hingga isu Laut China Selatan dan di wilayah Asia Tenggara. Sampai sejauh ini Indonesia masih belum memiliki sistem pertahanan udara yang mumpuni apalagi untuk menghalau serangan rudal balistik maupun rudal jelajah. Oleh karena itu konsep pertahanan udara 'Gandiwa Catra Antariksa' merupakan solusi sebagai sistem hanud yang dapat mengahalau berbagai macam ancaman dari udara.
Diambil dari bahasa sansekerta Gandiwa berarti senjata yang digunakan Arjuna, Catra yang berarti payung untuk melindungi, dan Antariksa yang berarti angkasa. Sehingga nama tersebut dapat diartikan bahwa Gandiwa Catra Antariksa adalah senjata pelindung dan pertahanan angkasa. Konsep sistem ini menggabungkan jenis hanud pasif dan aktif yang terdiri atas: hanud sejenis Medium Range Air Defense, Long Range Air Defense, dan Anti Ballistic Missile. Sistem ini dapat menggabungkan pertahanan udara di Kapal KRI dan sistem yang berada di darat yang nantinya akan memberikan data real-time sebuah ancaman yang masuk kedalam wilayah Indonesia.
Sistem ini akan mendeteksi sebuah ancaman rudal balistik yang kemungkinan besar akan menuju ke wilayah Republik Indonesia. Mula-mula sistem radar Ground Control Interceptor (GCI) dan radar Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) mendeteksi sebuah ancaman berupa rudal balistik yang tengah diluncurkan. Data tersebut kemudian diteruskan ke pusat komando operasi sebagai penindak sebuah ancaman yang datang.
Pusat komando yang menerima data dari radar dan KRI menerjemahkan hal tersebut dan memberikan sebuah informasi ke sistem rudal pertahanan udara dan kepada Mabes untuk meneruskan infomarsi ke masyarakat untuk melakukan evakuasi karena rudal balistik akan segera menghantam wilayah Indonesia.
Sistem rudal pertahanan yang menerima informasi akan datangnya rudal bersiap-siap untuk menembak jatuh rudal balistik tersebut yang memasuki fase terminal. Fase terminal adalah fase saat rudal balistik sudah kembali memasuki atmosfer bumi dan melepaskan roket pendorongnya sehingga hanya hulu ledak yang bersiap menjatuhkan diri ke arah target. Sistem pertahanan udara di darat sangat cocok menjatuhkan rudal balistik saat fase terminal.