Dalam demokrasi, terdapat pengakuan terhadap kehendak rakyat yang dijadikan sebagai landasan dalam legitimasi serta kewenangan pemerintahan (kedaulatan rakyat).
Kehendak tersebut nantinya akan dituangkan dalam suatu iklim politik terbuka, yaitu dengan melaksanakan pemilihan umum yang diadakan secara bebas dan berkala.Â
Tiap-tiap warga negara memiliki hak untuk memilih pihak-pihak yang akan memerintah serta juga dapat menurunkan pemerintahan yang sedang berjalan kapanpun mereka mau. Namun ketika dimasukan kepada konteks, realitas yang terjadi dalam demokrasi perpolitikan kampus adalah fenomena sesat pikir.Â
Suatu fenomena yang berbanding terbalik dengan konsep ideal berdemokrasi. Belenggu kepentingan merupakan inti dari pemilihan wakil mahasiswa.Â
Tiap calon, dari mana pun ia berdiri, tak terlepas oleh beban ideologi yang menyokongnya. Sekalipun terdapat individu yang mempidatokan objektivitas pencalonannya, ia mustahil terlepas dari bayang-bayang netralitas.
Iklim politik kepentingan ini sudah bukan menjadi hal baru lagi. Target mereka jelas, yakni menguasai setiap sektor organisasi, baik di tingkat program  studi, fakultas, maupun universitas. Suara para mahasiswa yang memilih mereka untuk menjadi pejabat kampus dilupakan begitu saja setelah mereka terpilih.Â
Yang mereka perjuangkan bukan kedaulatan mahasiswa secara menyeluruh tetapi hanya mengabdi kepada super team yang telah memenangkan mereka. Ini sebuah ironi yang menjijikan sekaligus memuakkan.
Hal ini, sudah tidak menjadi rahasia umum lagi jika terdapat sebuah kelompok yang mendominasi dalam jalannya pemerintahan atau kegiatan-kegitan politik dikalangan mahasiswa.Â
Mereka biasanya menjadi mahasiswa elit, dengan mengisi posisi-posisi yang setrategis ditingkat kepengurusan pemerintahan mahasiswa yang merupakan konsekuensi logis dari politik etis.
Ihwal warung kopi, tentunya tidak bisa kita nafikan bahwa sebagai suatu tempat bertukar pikiran sekaligus tempat konsolidasi mahasiswa dalam mengurus persoalan umat. Warung kopi kadang kala juga sebagai tempat deal-dealan politik mahasiswa dalam upaya memenangkan kontestasi pemilwa.Â
Sekali lagi sihir warung kopi mampu membuktikan bahwa tidak adanya transformasi pikiran mahasiswa yang kritis dan rasional ketika dihadapkan dengan hal-hal politik etis.Â