Berbagai proses adaptasi tepat guna telah dilakukan untuk menjalankan perkuliahan daring. Sayangnya, kegagapan ini berujung pada metode perkuliahan yang tidak efektif bahkan tidak manusiawi.Â
Dosen memberikan beragam tugas yang bertumpuk lalu meminta mahasiswa mengumpulkan tanpa memberikan umpan balik kepada mahasiswa. Fenomena di balik tidak adanya umpan balik kepada mahasiswa menandai perkuliahan hanya berlangsung satu arah, bukan kuliah yang dialogis. Pada akhirnya kita hanya akan sambat atau mengeluh di media sosial.
Ketidaksiapan kampus menerapkan SPADA merupakan ironi dalam dunia pendidikan tinggi kita. Kampus belum menggunakan berbagai media komunikasi dalam proses perkuliahan yang bisa diterapkan dalam pendidikan jarak jauh. Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menyebutkan bahwa pendidikan jarak jauh merupakan proses belajar mengajar yang dilakukan secara jarak jauh melalui penggunaan berbagai media komunikasi. Pada kasus seperti ini, agaknya ada kesenjangan antara kampus dengan mahasiswa.Â
Kampus masih menggunakan paradigma pembelajaran konvensional, sementara mahasiswa adalah generasi yang akrab dengan berbagai media komunikasi digital yang mereka akses secara daring melalui telepon pintar dan komputer tablet.
Pandemi covid-19 sekaligus membuka tabir bahwa sistem pendidikan kita hari ini rapuh dan dibangun atas dasar pemintaan pasar bebas serta penilaian angka-angka sebagai tolok ukur keberhasilan. Institusi pendidikan kita hari ini hanya berusaha mengerucutkan pendidikan menjadi sebuah mesin untuk memenuhi ekspektasi ekonomi mahasiswa maupun masyarakat.Â
Institusi pendidikan kita masih abai dalam hal membaca kebutuhan zaman dan menutup diri dalam pembelajaran yang modern dan humanis. Ini bukan soal apa-apa, ini soal posisi ilmuwan, kaum terdidik, yang menutup diri untuk persoalan-persoalan nyata di sekitarnya.
Akademisi seperti itu adalah produk sistem pendidikan yang positivistik-mekanistik. Sistem pendidikan yang jauh atau sengaja dijauhkan dari sentuhan nilai-nilai humanistik.
Disorientasi Kebangsaan
Dalam situasi nasional yang sedang menuju krisis itu, sepatutnya institusi pendidikan tinggi sebagai arena pemikiran mampu menganalisis situasi serta menyediakan tindakan antisipatif yang sekiranya bisa diterapkan dalam kebijakan yang menyejahterakan kemaslahatan mahasiswa bahkan masyarakat. Namun lagi-lagi institusi pendidikan tinggi tidak memainkan perannya sebagai problem solver.Â
Institusi pendidikan masih terjebak sistem pengajaran yang konservatif dan terikat pada target pencapaian kurikulum pembelajaran. Bukti nyatanya ialah setiap surat edaran yang selalu dikeluarkan oleh kampus kebangsaan sebenarnya jauh dari keterlibatannya dalam masalah kebangsaan.
Setiap surat yang diedarkan tak ada satu pun poin yang membicarakan persoalan finansial kemahasiswaan dan nasib mahasiswa perantau di tengah wabah pandemi ini. Orientasi kebijakan yang bias ini menempatkan kampus hanya sebagai penghasil nilai yang mengejar profit dan target kurikulum daripada masalah kemanusiaan dan jaminan kemaslahatan mahasiswa dan masyarakat secara menyeluruh.