“Kalau sistem itu tak bisa diperiksa kebenarannya dan tak bisa dikritik, maka matilah Ilmu Pasti itu.”
-Tan Malaka-
Kondisi kapitalisme global telah mencapai titik nadirnya. Dimulai dengan perang dagang berlanjut ke perang harga minyak mentah, berdampak besar pada ambruknya ekonomi dunia. Resesi ekonomi dunia semakin diperparah dengan merebaknya pandemi COVID-19. Akibat dari keadaan tersebut, nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat di level 16.245 (JISDOR 8/4/2020) dan memicu kepanikan di pasar saham. Dampak langsung dari ambruknya ekonomi ialah turunnya daya beli rakyat kelas menengah bawah. Hal ini di perparah oleh solusi pemerintah dengan membuka keran impor pangan seperti beras, gula, garam dan kebutuhan pokok lainnya.
Dalam kondisi darurat tersebut, pemerintah Indonesia justru melakukan berbagai kebijakan yang merugikan kepentingan rakyat. Di sektor perekonomian dan ketenagakerjaan dilakukan stimulus dengan mempercepat pengesahan Omnibus Law yang mengancam kesejahteraan buruh dan kerusakan ekologi serta proses pembangunan ibu kota yang terus berjalan entah apa urgensinya dan untuk kepentingan siapa ? Wallahu a'lam .
Pemerintah terbukti gagal memainkan peran sebagai pelindung bagi seluruh pekerja, terbukti dari Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan nomor M/3/HK.04/III/2020 di poin II.4. menempatkan proses negosiasi pengusaha dan buruh tanpa kehadiran pemerintah. Sedangkan perihal mitigasi COVID-19, Pemerintah justru melakukan penegakan hukum pembatasan sosial secara ketat dan menjadikan darurat sipil sebagai opsi mengatasi penyebaran virus corona.
Lebih aneh ketika Presiden tidak mengambil karantina wilayah (lockdown) dan meloncat jauh ke darurat sipil. Kondisi yang abu-abu ini akhirnya menimbulkan aksi sepihak dari berbagai kepala daerah yang kukuh tetap melakukan karantina wilayah. Secara teknis juga kurangnya transparansi penanganan COVID-19, kegagapan koordinasi pusat dan daerah serta buruknya infrastruktur kesehatan.
Mengapa pemerintah tidak mengambil karantina wilayah, alih-alih darurat sipil? Terbaca secara jelas, apabila pemerintah menggunakan UU Kekarantinaan Kesehatan Nomor 6 tahun 2018 artinya menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat memenuhi kebutuhan pokok rakyat selama karantina wilayah diberlakukan. Sesuai amanat pasal 55, "Selama dalam karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat’".
Manusia yang berada dalam wilayah karantina, sekaligus kambing, ayam, dan sapi kebutuhannya wajib dipasok Pemerintah Pusat, bukan oleh Pemerintah Daerah. Sementara itu berbeda dari karantina wilayah, dalam darurat sipil kewajiban pemenuhan kebutuhan pokok itu tidak ada. Darurat sipil lebih bicara pada persoalan pembatasan hak-hak sipil ketika terjadi kondisi darurat semacam perang dan situasi yang mengancam negara. Jadi dalam perspektif ekonomi, darurat sipil jelas lebih buruk dari karantina wilayah karena kehadiran negara sama sekali berbeda di dua kebijakan yang kontras itu. Pemerintah seakan menghindari tanggung jawab pemenuhan kebutuhan pokok.
Kemudian pada hari ini tercatat sudah 2.956 kasus terkait Covid-19, 2.494 dirawat, 240 meninggal, 222 sembuh (www.covid19.go.id). Kondisi yang memprihatinkan dan menjadi ironi di Negeri ini karena impak dari pandemi ini bukan hanya persoalan kematian karena virus tapi orang juga bisa mati karena keadaan ekonomi yang mengalami resesi bahkan krisis. Namun dalam tulisan kali ini saya tidak akan mengupas pandemik ini secara Nasional tapi saya akan menelaah kasus pandemi ini di daerah saya yaitu Kabupaten Alor.
Di Kabupaten Alor sendiri berdasarkan berdasarkan data dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pada updatetan terakhir 5 April 2020 sudah 17 Orang Dalam Pemantauan (ODP), 9 Pasien Dengan Pengawasan (PDP), dan 376 pelaku perjalanan. Dengan data statistik seperti itu artinya tingkat kewaspadaan kita akan pandemi ini harus tinggi dan tidak boleh dianggap remeh. Namun suatu hal yang kontras dan menjanggal terjadi yakni terkait penyambutan seorang eks LIDA Indosiar Hamid Haan pada Sabtu 4 April 2020.
Kedatangan eks LIDA Indosiar itu menuai polemik pasalnya si Hamid yang datang dari daerah zona merah Jakarta dan masuk dalam status ODP itu di jemput oleh ribuan orang di bandara dan diarak ke kediamannya di Bota, Alor Barat Laut. Tentunya hal ini menjadi kontroversi dikarenakan sudah jelas bahwa sesuai dengan Maklumat Kapolri Nomor Mak/2/III/2020 tentang Kepatuhan terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Covid-19 yang ditandatangani Kapolri pada 19 Maret 2020, meminta agar masyarakat tidak mengadakan kegiatan sosial kemasyarakatan yang menyebabkan berkumpulnya massa dalam jumlah banyak, baik di tempat umum maupun di lingkungan sendiri.
Bahkan tanpa segan-segan yang melanggar maklumat itu akan diberikan sanksi pidana berupa di penjara selama satu tahun empat bulan penjara sesuai Pasal 212 KUHP, Pasal 216 KUHP, dan Pasal 218 KUHP.