Mohon tunggu...
Boeng Tan
Boeng Tan Mohon Tunggu... Buruh - Philosophy Activist

Membaca adalah melawan dan menulis adalah membunuh.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Demokrasi Indonesia: Persimpangan Idealitas dan Realitas

4 November 2024   01:01 Diperbarui: 9 November 2024   00:45 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustration of: halaman7.com

Demokrasi adalah sebuah bentuk pemerintahan di mana suara dari orang banyak dapat mengalahkan kebenaran yang seharusnya dipatuhi.

– Plato, Republik

Prawacana

Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang muncul di negara-kota Yunani, khususnya di Athena pada abad ke-5 SM, yang menekankan partisipasi langsung rakyat dalam pengambilan keputusan. Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani kuno, "demokratia," yang terdiri dari kata "demos" (rakyat) dan "kratos" (kekuasaan). Dalam konteks ini, demokrasi mencerminkan esensi kekuasaan rakyat, di mana keputusan politik diambil berdasarkan suara mayoritas untuk menjamin kedaulatan dan kepentingan umum.

Meskipun demokrasi dianggap sebagai sistem pemerintahan yang ideal, praktiknya seringkali menyimpang dari prinsip-prinsip dasar. Banyak negara, termasuk Indonesia, telah mengalami transformasi yang signifikan di mana kesejahteraan rakyat sering kali terpinggirkan. Dalam banyak kasus, demokrasi menjadi sekadar mekanisme formal yang dikendalikan oleh elite politik, termasuk militer, dinasti politik, dan kartel partai. Hal ini menciptakan kesenjangan antara ideal demokrasi dan realitas yang dihadapi masyarakat.

Olehnya, demokrasi kerap dikritik. Kritik terhadap demokrasi bukan hal baru, melainkan telah berlangsung sejak zaman Yunani Kuno. Tokoh-tokoh seperti Socrates, Plato dan Aristoteles jauh sebelumnya telah memberikan argumen mendalam mengenai risiko berdemokrasi, di mana keputusan sering kali hanya didasarkan pada keinginan mayoritas tanpa mempertimbangkan kebenaran atau kepentingan jangka panjang. 

Dalam Republik karya Plato, Socrates mengkritik demokrasi karena menganggapnya sebagai sistem yang mempromosikan persamaan palsu, di mana setiap orang dianggap memiliki kapasitas yang sama dalam mengambil keputusan, tanpa mempertimbangkan pengetahuan atau kebijaksanaan.

Plato mengembangkan kritik Socrates, Plato menyatakan bahwa demokrasi bisa berujung pada kekacauan dan tirani. Ia berpendapat bahwa hanya philosopher king---individu yang bijaksana dan terdidik---yang seharusnya memimpin, bukan massa yang mudah dipengaruhi.

Aristoteles terkesan lebih moderat dalam artian tidak menentang demokrasi sepenuhnya, tetapi ia percaya bahwa demokrasi memiliki risiko terjatuh ke dalam "mob rule" atau pemerintahan massa yang bisa tidak adil. Aristoteles melihat demokrasi (pemerintahan oleh massa untuk kepentingan diri mereka sendiri) adalah bentuk pemerintahan yang mudah berubah menjadi demagogi, di mana pemimpin mencari dukungan dengan memanfaatkan emosi rakyat, bukan akal sehat. Ia mengusulkan politeia (pemerintahan oleh massa untuk kepentingan bersama) sebuah bentuk pemerintahan campuran, sebagai alternatif yang lebih stabil daripada demokrasi murni.

Kritik mereka berakar dan menekankan bahwa pentingnya pendidikan politik, keahlian dan kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan agar tidak jatuh dalam kebuntuan intelektual. Sebab, bentuk pemerintahan terbaik adalah yang menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh massa rakyat.

Patologi Demokrasi Indonesia 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun