Demokrasi adalah sebuah bentuk pemerintahan di mana suara dari orang banyak dapat mengalahkan kebenaran yang seharusnya dipatuhi.
– Plato, Republik
Prawacana
Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang muncul di negara-kota Yunani, khususnya di Athena pada abad ke-5 SM, yang menekankan partisipasi langsung rakyat dalam pengambilan keputusan. Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani kuno, "demokratia," yang terdiri dari kata "demos" (rakyat) dan "kratos" (kekuasaan). Dalam konteks ini, demokrasi mencerminkan esensi kekuasaan rakyat, di mana keputusan politik diambil berdasarkan suara mayoritas untuk menjamin kedaulatan dan kepentingan umum.
Meskipun demokrasi dianggap sebagai sistem pemerintahan yang ideal, praktiknya seringkali menyimpang dari prinsip-prinsip dasar. Banyak negara, termasuk Indonesia, telah mengalami transformasi yang signifikan di mana kesejahteraan rakyat sering kali terpinggirkan. Dalam banyak kasus, demokrasi menjadi sekadar mekanisme formal yang dikendalikan oleh elite politik, termasuk militer, dinasti politik, dan kartel partai. Hal ini menciptakan kesenjangan antara ideal demokrasi dan realitas yang dihadapi masyarakat.
Olehnya, demokrasi kerap dikritik. Kritik terhadap demokrasi bukan hal baru, melainkan telah berlangsung sejak zaman Yunani Kuno. Tokoh-tokoh seperti Socrates, Plato dan Aristoteles jauh sebelumnya telah memberikan argumen mendalam mengenai risiko berdemokrasi, di mana keputusan sering kali hanya didasarkan pada keinginan mayoritas tanpa mempertimbangkan kebenaran atau kepentingan jangka panjang.Â
Dalam Republik karya Plato, Socrates mengkritik demokrasi karena menganggapnya sebagai sistem yang mempromosikan persamaan palsu, di mana setiap orang dianggap memiliki kapasitas yang sama dalam mengambil keputusan, tanpa mempertimbangkan pengetahuan atau kebijaksanaan.
Plato mengembangkan kritik Socrates, Plato menyatakan bahwa demokrasi bisa berujung pada kekacauan dan tirani. Ia berpendapat bahwa hanya philosopher king---individu yang bijaksana dan terdidik---yang seharusnya memimpin, bukan massa yang mudah dipengaruhi.
Aristoteles terkesan lebih moderat dalam artian tidak menentang demokrasi sepenuhnya, tetapi ia percaya bahwa demokrasi memiliki risiko terjatuh ke dalam "mob rule" atau pemerintahan massa yang bisa tidak adil. Aristoteles melihat demokrasi (pemerintahan oleh massa untuk kepentingan diri mereka sendiri) adalah bentuk pemerintahan yang mudah berubah menjadi demagogi, di mana pemimpin mencari dukungan dengan memanfaatkan emosi rakyat, bukan akal sehat. Ia mengusulkan politeia (pemerintahan oleh massa untuk kepentingan bersama) sebuah bentuk pemerintahan campuran, sebagai alternatif yang lebih stabil daripada demokrasi murni.
Kritik mereka berakar dan menekankan bahwa pentingnya pendidikan politik, keahlian dan kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan agar tidak jatuh dalam kebuntuan intelektual. Sebab, bentuk pemerintahan terbaik adalah yang menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh massa rakyat.
Patologi Demokrasi IndonesiaÂ