Makanya jangan heran Voltaire seorang filsuf Prancis pernah mengatakan bahwa, yang bahaya itu bukan wabah tetapi opini.
Bisa dibilang musababnya adalah akibat integrasi media dalam kehidupan manusia---publik terikat secara dominan atas produk dan informasi media sosial tinimbang media mainstream atau media arus utama.
Dalam buku yang berjudul Membongkar Kuasa Media karya Ziauddin Sardar dan Borin van Loon menjelaskan bahwa, tidak seorang pun dapat lepas dari jeratan kuasa media.
Ini memang benar adanya, realitanya banyak dari kita yang menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk berselancar di internet atau era sekarang kalangan umum mengenalnya dunia online. Mulai dari Google yang didirikan oleh Larry Page dan Sergey Brin sebagai mesin pencarian sampai platform berjejaring media sosial (medsos) seperti Whatsapp, Facebook, Instagram, Twitter, Youtube, Tiktok dan lusinan media lainnya.
Media memberikan pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan manusia. F. Budi Hardiman pun menulis sebuah buku tentang revolusi digital yang berjudul Aku Klik Maka Aku Ada, yang gambarannya adalah sebuah kegelisahan atas fenomena yang berkembang, bahkan Hardiman mempertanyakan siapakah manusia di era digital, media online membikin kebenaran menjadi tidak benar, seni, ilmu pengetahuan dls. dirampas oleh 'klik' termasuk kebebasan manusia pada umumnya yang di dalamnya termasuk para pakar.
Akhirnya sebagai penegasan di penutup paragraf ini saya mengutip kembali apa yang dikatakan oleh Nichols dalam Matinya Kepakaran di halaman 130-131, bahwa: "Internet mengizinkan satu miliar bunga mekar, namun sebagian besarnya berbau busuk, mulai dari pikiran iseng para penulis blog, teori konspirasi orang-orang aneh, hingga penyebaran informasi bohong oleh berbagai kelompok".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H