Secara sederhana demokrasi berasal dari kata demos yang berarti orang atau rakyat, dan kratos yang berarti peraturan. Inti dari konsep demokrasi ini adalah peraturan dan pemerintahan yang ada itu berdasarkan suara terbanyak dari rakyat. Jadi, segala keputusan yang ada itu didasari oleh suara mayoritas. Itulah konsep simpel demokrasi di Yunani saat itu.
Secara historis demokrasi dimulai dari pertengahan abad 5 SM—pada mulanya adalah sebuah konsep yang dikenal sebagai sistem politik di era Yunani, lebih tepatnya kota Athena. Sebuah tempat yang sering disebut-sebut sebagai asal dari peradaban barat karena berbagai pencapaian kebudayaannya.
Seiring berjalannya waktu, konsep demokrasi pun ikut berkembang. Berbagai ahli dan tokoh politik terus menyumbangkan buah pikiran untuk mengembangkan konsep demokrasi sesuai dengan kebutuhan.
Demokrasi menurut Aristoteles ialah suatu kebebasan atau prinsip kebebasan, Harris Soche menjelaskan bahwa demokrasi ialah suatu bentuk pemerintahan rakyat, dan menurut Abraham Lincoln, demokrasi adalah suatu pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.
Saya tidak mencoba menerka-nerka soal demokrasi mana yang lebih baik berdasarkan bentuknya, baik: konstitusional, indenpenden, ideologi, langsung, terpimpin dsj. Juga tidak mengkomparasikan mana yang lebih ideal untuk dijalankan, karna pada dasarnya macam-macam demokrasi tersebut adalah kamuflase dari demokrasi Athena. Saya menenkankan sebagaimana Bonger, demokrasi hanyalah dua aspek yaitu formal dan materil. Demokrasi formal adalah demokrasi sebagai teori, sedangkan demokrasi materil adalah demokrasi yang dalam praktiknya. Dan dalam hal melihat demokrasi berjalan praksis adalah soal bagaimana kemerdekaan, persamaan pada lingkup sosial dan ekonomi. Olehnya saya hanya akan meneropong latensitas dari sistem demokrasi yang dianggap baik untuk kebutuhan dasar dalam bentuk bernegara, sebuah keputusan bersama yang dinamakan dengan musyawarah. Maksudnya saya tidak mencoba mereduksi dari sisi kekuasaan melainkan, diskursus soal demokrasi di bawah sistem kenegaraan sangat perlu dilihat dari bukti nyata bagaimana ia beroperasi dengan alatnya yang disebut struktural pemerintahan.
Mengingat Socrates dan Plato pernah mengkritik demokrasi dari sudut pandang filosofis, di mana mereka memandang bahwa kebebasan dalam memilih (demokrasi langsung) adalah biang kerok mengapa Athena dan tanah Yunani selalu dihinggapi masalah. Socrates mencela demokrasi Athena karena mengutamakan pendapat khalayak (orang banyak) yang mengorbankan kebenaran. Socrates dihukum mati lewat demokrasi kala itu. Plato menghubungkan demokrasi dengan tirani yang ditengarai dengan peristiwa berdarah di Yunani.
Demokrasi Athena adalah sebuah gambaran demokrasi tanpa batasan terhadap dorongan-dorongan terburuk oleh mayoritas.
Dalam buku Republic karya Plato, Socrates mengutarakan bahwa ia keberatan dengan cara kerja demokrasi di Kota Athena. Dalam karya itu juga, Socrates sempat membicarakan soal kepemimpinan Adeimantus, menganalogikan sebuah kapal yang hendak berlayar, Socrates mempertanyakan siapa yang layak menjadi penanggung jawab di atas kapal nantinya, dan tentunya adalah orang yang benar-benar paham betul soal dunia kepelayaran.
Socrates berargumen bahwa memberikan suara dalam pemilihan adalah keterampilan, dan seperti keterampilan apa pun, itu perlu diajarkan secara sistematis kepada orang-orang.
Membiarkan rakyat memilih tanpa pendidikan, sama seperti tidak bertanggung jawabnya karena menempatkan mereka sebagai penanggung jawab atas "tiga kali pelayaran ke Samos dalam badai."