Mohon tunggu...
Sayuti Melik S
Sayuti Melik S Mohon Tunggu... Buruh - Artes Liberalis

Membaca adalah melawan dan menulis adalah membunuh.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Obsesi Viralitas dan Mengapa Harus Didestruksi

9 Juli 2022   21:06 Diperbarui: 9 Juli 2022   21:26 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aku Viral Maka Aku Ada", adalah sebuah opini yang ditulis oleh Prof. Dr. Suwanto, Guru Besar Komunikasi Organisasi di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. (https://m.mediaindonesia.com/opini/497968/aku-viral-maka-aku-ada)

Beliau menguraikan soal perkembangan teknologi dan pengaruhnya terhadap manusia, selain itu beliau juga menulis akibat dari masifnya kontenisasi telah membikin kebanyakan orang harus melakukan sesuatu yang jika dipraktekan di kehidupan sehari-hari akan berakibat fatal, misalnya, konten memakan cabe secara berlebihan juga tidak jarang yang menjadi korban kecelakaan karena membuat konten yang berbahaya seperti menghadang kereta yang melaju.

Saya tidak berkilah atas opini yang dibangun, tetapi saya aka mencoba memberikan sedikit catatan tentang fenomena viralisme ini.

Dewasa ini, viralitas menjadi obsesi yang pada gilirannya iklim sosial masyarakat dengan mobilitasnya berdesak-desakan dalam gelombang demokratisasi teknologi atau lebih tepatnya plat form social media.

Eksistensi manusia hari ini ditakar dengan pendekatan metode statistik, berapa jumlah subscribers, viewers, followers, dan 'ers ers' yang lainnya.

Dalam catatan sejarah persoalan viralitas (pamerisasi) telah berlangsung lama, sejak Romawi kuno praktek-praktek memperlihatkan keseksian tubuh terjadi. Pun beberapa tahun terakhir di Indonesia beragam konten-konten seksi dilancarkan oleh para pelaku media soial, 

sebulan lalu seorang perempuan perempuan asa Sumatra Utara demi menambah followers iya rela menunjukan dada seksinya dan sekitar satu minggu lalu ini dunia maya digemparkan dengan seorang perempuan melakukan rekaman video di salah salu kos-kosan dengan tindakan yang senonoh, tak menunggu lama videonya menjadi viral dan teratas di twiter dan tiktok.

Selain persoalan di atas, tidak sedikit juga aksi pengguna smartphone yang merekam hal-hal yang tidak sewajarnya, mulai dari merekam orang yang sedang mesra sampai tidak sedikit menaruh kamera di ruang ganti, kamar mandi, wc bahkan di kamar kontrakan perempuan.

Saya pikir, pada dasarnya obsesi (viralitas) ini bukanlah sesuatu yang baru, melainkan budaya yang sudah berkembang mapan hanya saja dengan wajah yang baru.

Saya mengutip secara verbatim dari seorang Filsuf asal Skotlandia, David Hume pernah mengatakan; karakter adalah hasil dari sebuah sistem dari prinsip yang dibiasakan.

—Artinya, dalam sejarah perkembangan manusia adalah zoon poloticon ("hewan bermasyarakat", dalam istitah Aristoteles) yang seiring perkembangannya manusia adalah salah satu makhluk hidup yang cenderung terobsesi diakui (dipuji) ke-aku-annya. 

Dalan istilah Islam sendiri disebut Riya'—adalah memperlihatkan diri kepada orang lain agar keberadaannya baik ucapan, tulisan, sikap, maupun amal perbuatannya termasuk aktivitas "online" diketahui atau dalam bahasa kasarnya disebut pamer.

Ini kebiasaan manusia sejak lama atau dalam istilah sains adalah genetik, sesuatu yang sudah mewaris.

Tetapi apakah ini bisa diubah? Jawabannya bisa, Richard Dawkins seorang ahli genetika berpendapat bahwa gen, meski mempunyai peran menurunkan sifat-sifat turunan, tetap akan mengalami perubahan saat dihadapkan pada lingkungan.

Dari sini, kita dituntut bergumul bagaimana menciptakan lingkungan yang seideal mungkin dan sedapat mungkin bisa membunuh budaya pamer (viralisme) yang telah berpengaruh besar pada terciptanya dekadensi dalam habitat manusia.

Burhus Frederic Skinner seorang Psikolog dengan teori Behaviorisme-nya menawarkan agar lingkungan ideal diciptakan dengan cara memberikan stimulus (rangsangan) dengan pembacaan akan direspon oleh pelaku-korban viralisme.

Mulai dari mencipatakan ekosistem yang bernuansa progresif dengan tidak terbiasa selalu memegang handphone, lingkungan keluarga dibangun dengan nilai-nilai moral, disibukan dengan kerja-kerja sosial dan ibadah keagamaan yang tak hanya ritus melainkan juga pendalaman tafsir, dan segudang solusi lainnya. Dengan demikian saya pikir obsesifitas viralisme dengan sendirinya akan tertangkal.

Tetapi ini tidak mudah dikerjakan, kita harus benar-benar komitmen melakukan sebuah praksis.

Akhirnya, satu hal penting adalah apa saya tulis di atas bukanlah sebuah konklusi yang berangkat dari berbagai premis yang telah diuji kebebarannya dan sukar untuk digugurkan keabsahannya. Saya kira kajian tentang ini bisa melibatkan berbagai perspektif yang lebih relevan, olehnya hal di atas hanyalah sebuah Tesis, bakal ada Antitesis-Antitesis lain yang akan membantah dan menggugurkannya. Demikian siklus dialektinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun