Dengan tugas menjaga, mendidik dan banyak “me-“ lainnya yang harus dikerjakan. Sebagai penjamin terlaksananya semua tugas yang diembannya. Tugas pada dasarnya bukanlah mutlak harus sosok tersebut yang mengerjakannya dalam artian kontekstual. Tugas bisa kita delegasikan sebagaimana seorang ibu mendelegasikan tugasnya kepada guru untuk mendidik dan mencerdaskan anaknya. Namun peran ibu tetap dipegangnya meskipun tugas tersebut dijalankan oleh seorang guru.
Amanah tidak bisa didelegasikan, walalu apapun yang terjadi, anak yang lahir dari rahim seorang wanita, wanita tersebut secara mutlak adalah ibunya, meskipun ada istilah-istilah ibu yang lain di Indonesia ini. Begitu perbedaan mendasarnya. Sehingga perlu kita sadari begitu besarnya level tanggung jawab tersebut.
Dalam dunia keorganisasian, kepanitiaan, dan semua kegiatan yang membutuhkan jabatan struktural, tidak begitu jeli dalam hal pendefinisian ini. Terutama masa kemahasiswaan, menerima atau bahkan menjadi fakir amanah yang mencarinya kesegala sudut kampus, lupa dalam mempertimbangkan hal ini. Sehingga saat dirinya telah menjadi multi-stakeholder, mereka sebenarnya telah menyandang beberapa tanggung jawab secara bersamaan, bukan tugas. Karena tugas akan diturunkan kepada staf-staf atau tangan kanan yang akan membantu keberlansungan pergerakannya kelak.
Di sisi lain, manusia adalah makhluk yang terbatas. Apapun itu, semua yang manusia miliki ada batasnya, cuman barangkali sabar yang tidak ada batasnya, karena jikalau sabar ada batasnya, maka bukanlah sabar namanya. Sehingga keterbatasan manusia ini menjadi penghambat terbesar bagi sosok multi-stakeholder tadi. Karena fokus manusia ada batasnya. Saat seorang mahasiswa mengemban beberapa amanah, salah satunya sudah dipastikan adalah amanah akademis. Jikalau mereka mencoba terjun mendalam disetiap amanah yang mereka emban, sebut saja ada empat amanah. Mereka layaknya memeluk tubuh seseorang yang ukurannya berbanding lurus dengan level amanah yang diembannya. Tidak akan mampu memeluk empat tubuh orang gendut dengan lengan kita yang cuma dua buah.
Pasti akan ada yang terpeluk, tapi satu atau dua, tidak semuanya. Atau bahkan karena mengusahakan dan memaksakannya, tidak terpeluk satupun sama sekali. Sehingga akibat menkonsentrasikan pemikiran dan perhatian di banyak fokus, ini yang saya namakan distraksi fokus, akan mampu membuat 2 tetap menjadi 2, 10 bisa menjadi 0. Distraksi fokus manusia, yang mampu membuat sedikit akan tetap pada jumlahnya dan bahkan lebih, atau kuantitas banyak yang akan berubah menjadi hal yang hampa, bahkan sia-sia.
Saat kita mencoba fokus di lebih dari satu atau dua hal, tidak ada satupun hal yang maksimal mendapatkan perhatian kita, sehingga sebagai konsekuensinya, tidak satupun perihal tersebut yang mendapatkan hasil maksimal, atau bahkan semuanya gagal. Ini akan berbeda saat kita hanya memusatkan di satu atau dua hal. Cabang pemikiran kita begitu banyak, sehingga konsentrasi terbagi di setiap cabang dengan kuantitas kecil. Ini hanya untuk definisi manusia secara general.Makanya di Indonesia jiakalau polisi ingin berkarir di luar kepolisian, dia harus dengan terpaksa melepaskan posisinya sebagai polisi.
Salah kaprah yang menjadi blunder besar seorang manusia, yaitu menganggap kecil sebuah amanah, seminor apapun amanah tersebut. Saya coba mengutarakannya dengan contoh kecil. Saat kita mengemban empat amanah : 1. Akademik, 2. Ketua unit kebudayaan, 3. Mentor mahasiswa bidik misi, 4. Ketua divisi internal paguyuban. Dari keempat amanah, 3 amanah terakhir merupakan non akademis yang terdiri dari satu amanah mayor (nomor 2) dan dua amanah minor (nomor 3 dan 4). Chaoskah dalam hal ini?. Andaikan iya, benar-benar chaos,kemudian apa yang akan kita lakukan? Pastinya tidak ingin menjadi ketua atau pengemban amanah dari suatu acara yang gagal. So? How?Mau menyukseskan salah satu hal dengan lari dari amanah yang lain? Meninggalkan amanah? Mencopot peran sebagai ibu? Disini awal dari salah kaprah yang saya sampaikan sebelumnya. Akibat obsesi keberhasilan yang menggerogoti pemikiran kaum muda.
Contoh kecil lain. Biasanya terjadi di minggu-minggu ujian. Sehingga ini menjadi primary of excusebagi segelintir mahasiswa terhadap kegiatan non-akademisnya. Jadwal ujian biasanya telah diumumkan di H-7 atau H-3 ujian dilaksanakan. Namun saat kita punya jadwal rutin rapat koordinasi di Rabu malam dan ujian akan dilaksanakan esok harinya. Fenomena excuseuntuk tidak hadir rapat bermunculan. Terlebih untuk rapat yang dilatar belakangi, mungkin, dari jurusan yang berbeda-beda, sehingga menunda rapat adalah suatu hal yang tidak solutif. Sehingga urusan ini dengan sengaja ditabrakkan. Padahal ada tenggat waktu yang lama dalam mempersiapkan diri dan tidak mungkin amnesia sesaat bahwa ada agenda rutin di malam sebelum ujiannya. Ini menjadi indikasi bahwa adanya ketidakteraturan pada diri kita.
Saya pernah dimarahi oleh seorang bos akibat excuseseperti yang saya sampaikan sebelumnya, “Andaikan ini terjadi kelak di saat urusan tersebut benar-benar parallel dan mengharuskan dirimu hadir di saat yang bersamaan, kedepannya saat telah dewasa dan berkeluarga akan banyak urusan hidup yang bertabrakan diluar keinginanmu. Andaikan di suatu pagi setelah berangkat kerja, istrimu yang tengah hamil dikabari mengalami pendarahan, gakmungkin kamu hanya berdiri menangisinya, kau harus mengantarkannya ke RS terdekat, dan saat langkah cepatmu menuju mobil terhenti oleh HP yang berdering, ayah mu menelpon, dengan cepat dan menggerutu karena telah mengaahmbat langkahmu ke mobil, kau angkat telponnya. Suara serak ayahmu mengabarkan jikalau ibu sedang terkapar dirumah sakit akibat diserempet motor beberapa saat yang lalu di jalan pulangnya dari masjid. Then what?Bingung? Mau mati? Inilah saat dimana urusan itu ditabrakan tanpa seinginmu, dan bukan urusan terkait suatu yang baik bagi dirimu.”
Saat urusan yang sebenarnya dan pada dasarnya tidak dibenturkan, kita dengan sengaja membenturkannya seolah kitalah orang tersibuk di sejagat kampus. Memang analogi yang begitu hiperbola, namun mari ambil hikmahnya. Urusan kecil yang tidak dibenturkan saja kita tidak mampu menanganinya dengan cermat, lalu bagaimana diri ini kedepannya dalam menghadapi kejamnya dunia luar sana kelak. Ini bukti kita tidak membiasakan diri teratur sejak dini, sejak masa pembelajaran hidup tengah gencar-gencarnya, namun diri ini malah terlena akan indahnya masa muda. Hati-hati.
Kembali ke empat amanah yang diemban, salah satunya akademik. Amanah lain (keorganisasian) pastinya akan ada sosok-sosok lain yang menemani dan membantu dalam keberjalanannya. Hal ini berbeda dengan akademik. Kita ada diposisi sendiri, dan saat gagal itu ditanggung sendiri. Sedih? Iya memang. Berbeda saat sebuat organisasi gagal, tidak ada pada dasarnya yang harus disalahkan secara khusus. Kesalahan yang superbesar harus dibagi rata sesuai porsi ke semua sosok yang ada didalamnya. Ini untuk kondisi ideal.