Uji kompetensi menjadi kisah tersendiri, ada seorang ibu guru yang dalam kondisi stroke memaksakan hadir di ruang ujian demi mencoba peruntungan menjadi guru PPPK. Paling tidak menjelang masa pensiunnya, si ibu sempat merasakan gaji tetap yang layak untuk pengabdiannya. Atau seorang bapak guru yang meninggal dunia, saat melihat kenyataan bahwa ia tak melampaui nilai minimal yang dibutuhkan untuk lolos seleksi ke tahap berikutnya.Â
Sebuah potret buram dari dunia pendidikan Indonesia yang membuat hati miris. Ganti berganti pemerintahan, ganti berganti mentri dan kebijakan, nasib jutaan guru honorer masih selalu menjadi perdebatan di setiap tahun peringatan Hari Pendidikan Nasional atau Hari Guru Nasional, yang belum juga berujung pada solusi yang melegakan bagi para pengabdi dunia pendidikan.Â
Sudah seharusnya pemerintah lebih mempertimbangkan sisi kemanusiaan dalam pelaksanaan seleksi guru PPPK, daripada nilai kuantitatif. Salah satunya adalah dengan mempertimbangkan usia dan masa kerja mereka sebagai pengajar honorer. Utamakan untuk  mengangkat mereka yang berusia di atas 45 tahun yang memiliki masa pengabdian di atas 10 tahun, sebagai penghargaan atas loyalitas profesi dan integritas mereka sebagai petugas garda terdepan dunia pendidikan bangsa ini.
Presedennya toh sudah ada, ketika pemerintah beberapa kali menetapkan  kebijakan zero growth pada penerimaan CPNS. Jadi seharusnya, kebijakan yang sama juga bisa diterapkan pada seleksi guru PPPK ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H