Musim semi dan musim gugur di Jepang ternyata identik dengan bunga-bungaan. Kalau di musim semi, bunga Sakura, yang memang menjadi trademark Jepang, bermekaran di seluruh penjuru negeri.
Sedangkan di musim gugur, bunga Higanbana yang bermekaran menjadi daya tarik tersendiri yang mewarnai indahnya musim gugur di Jepang.
Higanbana dikenal juga dengan nama Red Spider Lily. Bunga cantik yang memiliki nama latin Lycoris Rigata ini merupakan salah satu jenis amarilis yang berasal dari Cina dan Korea.
Higanbana bermekaran di Jepang di awal musim gugur, yaitu bulan September. Biasanya pada awal musim gugur di Jepang, sering terjadi hujan yang sangat lebat, sehingga Higanbana sering juga disebut Lili Badai.
Tampilan cantik bunga Higanbana ternyata tidak secantik kisah di baliknya. Umbi bunga Higanbana ternyata memiliki racun yang cukup mematikan. Para petani biasanya menanam Higanbana di sekeliling tanah pertanian atau ladang untuk mencegah hama tikus.
Di Jepang, Higanbana identik dengan perpisahan dan kematian. Bagi penggemar anime mungkin seringkali melihat penampakan bunga ini, saat salah satu karakternya mengalami peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan kematian karakter lainnya.
Higanbana berasal dari kata Higan yang berarti "pantai yang lain", yang oleh orang Jepang diartikan sebagai alam baka tempat berkumpulnya arwah mereka yang sudah meninggal.
Biasanya orang Jepang merayakan awal musim gugur dengan menanam bunga Higanbana di makam orang yang mereka sayangi, sebagai bentuk penghormatan.
Higanbana juga identik dengan perpisahan. Ada mitos yang berkembang di masyarakat Jepang, yaitu bila seseorang akan berpisah atau kehilangan orang yang mereka sayangi, ia akan melihat bunga Higanbana bermekaran di sepanjang jalan yang ia lalui, walaupun belum waktunya Higanbana mekar.
Ada sebab lain yang dipercaya oleh masyarakat Jepang, yang menjadi sebab mengapa Higanbana dijadikan sebagai simbol perpisahan. Hal ini mungkin karena keunikan bunga Higanbana yang tidak pernah mekar bersamaan dengan daunnya.
Jadi kalau bunga Higanbana mekar, daunnya akan mati dan berguguran. Demikian juga sebaliknya, bila tunas daunnya mulai bermunculan, bunga Higanbana juga akan layu dan mati.
Jepang memiliki legenda khusus berkaitan dengan hal tersebut, yaitu legenda Manju dan Saka. Manju dan Saka adalah dua peri yang ditugaskan oleh Dewi Amaterasu, dewi matahari dalam ajaran Shinto.
Manju bertugas untuk menjaga bunga, sedangkan Saka bertugas menjaga daun Higanbana. Dewi Amaterasu melarang keduanya meninggalkan tempat mereka harus berjaga.
Namun suatu saat, mereka tidak dapat membendung rasa penasaran mereka dan mereka meninggalkan tempat mereka bertugas. Mereka tanpa sengaja saling bertemu saat daun Higanbana tumbuh mencapai kelopak bunga. Mereka pun saling jatuh cinta.
Dewi Amaterasu mengetahui hal tersebut dan sangat marah pada keduanya. Akhirnya Amaterasu mengutuk keduanya agar mereka tidak dapat lagi bertemu satu sama lain. Sejak itu bunga dan daun Higanbana tidak pernah lagi tumbuh dan mekar bersamaan. Kisah cinta yang baru saja dimulai harus berakhir secara tragis.
Higanbana tidak hanya berwarna merah. Ada Higanbana yang berwarna putih dan kuning, walaupun tumbuhnya tidak sebanyak Higanbana merah. Bagi orang Jepang warna bunga Higanbana juga memiliki arti masing-masing.
Higanbana kuning diartikan sebagai perlambang kenangan dan cinta. Sedangkan Higanbana putih diartikan sebagai lambang kesepian dan harapan untuk kembali bertemu dengan orang yang disayangi.
Namun dibalik kisah tragis Manju dan Saka, bunga Higanbana masih menjadi daya tarik utama bagi wisatawan mancanegara untuk mengunjungi Jepang di bulan September, saat musim gugur baru dimulai, hanya untuk sekedar menikmati keindahan bunga Higanbana yang hanya tumbuh selama dua minggu dalam satu tahun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H