Mohon tunggu...
Tanjung Sari Puji Rahayu
Tanjung Sari Puji Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis/Blogger

Penulis amatir yang suka menjadi pengamat bidang kebijakan publik, hukum, sosial dan politik. Penulis yang suka tantangan untuk menulis segala jenis tulisan, fiksi dan non fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Diary

It's Okay Not To Be Okay

15 Agustus 2021   22:00 Diperbarui: 15 Agustus 2021   22:05 2316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Saat kita dalam kondisi sulit dan merasa di titik terendah, kita terkadang ingin dapat mencurahkan perasaan kita kepada sahabat atau orang-orang terdekat kita dan mengharapkan solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah kita. Seringkali dari teman-teman, kita mendapatkan kata-kata penyemangat yang dimaksudkan sebagai bentuk dukungan agar kita tetap dapat menyelesaikan masalah yang kita hadapi.

 Namun kadang-kadang penyemangat yang terlalu berlebihan malah berbalik menjadi sesuatu yang membuat kita semakin terpuruk. Kondisi inilah yang dikenal sebagai toxic positivity. Hal ini jika dibiarkan akan menjadi racun yang berbahaya bagi kesehatan mental kita.

Mengapa demikian? Pada dasarnya emosi negatif dihasilkan oleh otak untuk memperingatkan adanya bahaya. Namun apabila selalu diabaikan, emosi negatif tersebut akan menumpuk dan terus menumpuk, sehingga akhirnya kita jadi tidak dapat menilai realita secara berimbang dan kurang antisipatif karena menganggap semua masalah akan berlalu dengan sendirinya. Padahal tidak semua masalah dapat terselesaikan hanya dengan kata-kata inspiratif. Contohnya saat kita harus menghadapi kehilangan seseorang yang kita sayangi atau kita sedang mengalami sakit berat.

Kita terpancing untuk menutupi perasaan kita yang sebenarnya dan mengemukakan fake happiness atau kebahagiaan palsu untuk menutupinya. Kemudian kita jadi merasa bersalah pada diri sendiri bahwa kita memiliki emosi negatif dan berusaha keras menghilangkan emosi yang ada.

 Kecenderungan menutupi perasaan yang sebenarnya, entah karena malu atau tidak mau dianggap sebagai orang lemah, membuat kita menjadi kurang reaktif dalam merespons tingkat stress dalam diri.

Kadang-kadang ada saatnya kita membutuhkan sebuah pengesahan bahwa rasa terpuruk yang kita rasakan adalah manusiawi dan wajar. Bahwa bahagia dan sedih adalah sebuah siklus kehidupan yang memang terjadi sewajarnya. Bahwa ada saatnya kita dapat berkata it's ok not to be ok.

Catatan Pengingat Diri

Tanjung 'Tije' Sari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun