Kita tak sepatutnya memperlakukan survei perilaku pemilih layaknya prakiraan cuaca. Manusia lebih sulit ditebak daripada alam. Orang Jawa bilang, esuk dele sore tempe alias mencla-mencle.
Saat disurvei, bisa jadi responden mantap memilih A, namun saat hari H, dia berubah pikiran. Selain itu, tentu kita tak bisa mengabaikan responden yang belum menentukan pilihan.Â
Dan tampaknya itulah yang terjadi dalam Pilkada Jawa Barat. Seperti kita tahu, hasil perolehan suara pasangan Sudrajat-Ahmad Syaiku mengejutkan banyak pihak karena mencapai 28 persen. Pasangan Asyik bahkan mengalahkan Dedy Mizwar-Dedi Mulyadi.
Padahal, sebelum pencoblosan, semua lembaga survei menyebutkan persaingan ketat akan terjadi antara Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum dengan Dedy Mizwar-Dedi Mulyadi. Adapun pasangan Asyik diprediksi hanya meraup 7 persen, dan paling besar 12 persen. Artinya, ada margin of error sebesar 16-21 persen.
Betulkah lembaga survei menipu publik Jawa Barat sebagaimana tuduhan Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Arief Poyuono, baru-baru ini? Belum tentu.
Kesalahan berjamaah lembaga survei tak hanya terjadi di Indonesia. Amerika Serikat sudah terlebih dahulu merasakannya pada Pilpres 2016 yang dimenangkan Donald Trump.Â
Ketika itu, nyaris semua lembaga survei yang mengatakan Trump tak punya peluang memenangkan pertarungan melawan Hillary Clinton. Bahkan, ada yang memprediksi peluangnya hanya 15 persen. Pada kenyataannya, Trump menang dan menjungkalkan prediksi lembaga survei jauh melewati margin of error.
Nah, apa yang terjadi di Jawa Barat masih perlu diteliti lebih jauh. Dan mungkin akan memakan waktu berbulan-bulan, sehingga belum tentu ada yang mau melakukannya. Celakanya, tak ada lembaga yang kompeten atau bertugas mengaudit lembaga survei di Indonesia.
Dalam kasus Trump, sebagian pollster berspekulasi bahwa kesalahan lembaga survei bisa jadi karena banyak pemilih Trump malu mengatakan bahwa mereka akan memilih Trump. Hal ini terutama terjadi pada responden perempuan. Teori lain menyebutkan, Trump berhasil mencuri suara dari pendukung kandidat ketiga Gary Johnson.
Sementara hasil analisis American Association for Public Opinion Research mengatakan, lembaga survei terlalu meremehkan dukungan terhadap Trump di Pennsylvania, Michigan, dan Wisconsin.
Selain itu, ada tiga faktor utama yang membuat pollster keliru memprediksi Trump. Pertama, terjadi perubahan preferensi pemilih pada kampanye terakhir, kedua pollster terlalu banyak memilih responden lulusan sarjana, dan ketiga banyak sekali pemilih Trump merahasiakan pilihannya sampai saat pemungutan suara tiba.
Apakah fenomena ini yang terjadi di Jawa Barat? Pollster terlalu meremehkan basis dukungan pasangan Asyik? Banyak pemilih berubah pikiran usai kampanye akhir? Banyak Pemilih Asyik merahasiakan pilhan sampai hari H tiba? Kita tidak tahu.
Yang jelas, aktivitas para lembaga survei ini masih akan berlangsung hingga Pilpres 2019. Sampai dengan bulan Juni ini, salah satu hasil penelitian mereka menyebut bahwa Gatot Nurmantyo adalah cawapres terpopuler baik untuk Jokowi maupun Prabowo Subianto. Gatot juga dianggap berpeluang menjadi capres.
Melihat kasus Jawa Barat, kita patut mengantisipasi kesalahan berjamaah lembaga survei jilid kedua. Bisa jadi, elektabilitas Muhaimin Iskandar akan menyalip Gatot. Demikian juga dengan kandidat lain seperti Tuan Guru Bajang, Ahmad Heryawan, Chairul Tanjung, Airlangga Hartaro, Mahfud MD, Susi Pujiastuti, atau Sri Mulyani.
Intinya, situasi masih sangat dinamis. Hari Pencoblosan juga masih setahun lebih.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI