Mohon tunggu...
Kebijakan

Dilema Jokowi Memilih Cawapres, Belajar dari SBY

11 Juni 2018   02:29 Diperbarui: 11 Juni 2018   02:35 988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo (Source: Merdeka.com/Arie Basuki)

Presiden Joko Widodo mungkin tengah galau menentukan calon wakil presiden yang akan mendampinginya pada Pilpres 2019. Dari jauh, Pak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang sudah terlebih dahulu mengalami momen ini pada tahun 2009, mungkin mbatin "I Feel You Bro".

Sebelum memilih figur, tentu saja Jokowi harus menetapkan kriteria cawapresnya. Kriteria itu setidaknya mencakup elektabilitas, pengalaman birokrasi, persamaan visi dan ideologi, dan yang tak kalah penting adalah akseptabilitas si calon di seluruh partai koalisi pemerintah.

Nah, di sinilah dilemanya. Partai koalisi pemerintah saat ini sedang berlomba-lomba menaikkan posisi tawar dengan menyorongkan ketua umumnya sebagai cawapres. Partai Golkar menawarkan Airlangga Hartarto, Partai Kebangkitan Bangsa terus mendorong Muhaimin Iskandar, dan Partai Persatuan Pembangunan memilih Romahurmuziy.

Mungkin, agar terhindar dari jebakan buah simalakama, Jokowi bisa mempertimbangkan strategi SBY pada Pilpres 2009, yakni memilih cawapres dari luar partai politik alias seorang teknokrat. Ketika itu, SBY dengan cerdik memilih Boediono yang merupakan Gubernur Bank Indonesia. Meskipun, harus diakui, kondisi SBY dan Jokowi memiliki beberapa perbedaan signifikan saat penentuan cawapres tersebut.

Dalam kasus Jokowi, memilih kandidat yang bisa diterima semua partai koalisi merupakan satu hal saja. Faktor lain yang tak kalah penting adalah cawapresnya harus bisa mewakili kelompok yang selama ini dianggap berseberangan dengan Jokowi. Yup, siapa lagi kalau bukan kelompok islam garis keras. Jokowi yang sering dicitrakan sebagai "abangan", membutuhkan pasangan yang bisa diterima di kelompok islam mana pun. Atau minimal tak ada yang meragukan keislamannya.

Hal ini belajar dari pengalaman Pilpres 2014 di mana Jokowi dibombardir dengan isu agama, ras, ideologi, sampai personal keluarganya. Kedua, apa lagi kalau bukan pengalaman Pilgub DKI Jakarta di mana Anies-Sandi yang didukung kelompok islam berhasil menumbangkan Ahok.

Keleluasaan Jokowi dalam memilih pasangan tentu juga akan sangat dipengaruhi oleh tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahannya. Survei Litbang Kompas pada 21 Maret-1 April 2018, bertepatan dengan 3,5 tahun pemerintahan berjalan, menunjukkan, 72,2 persen responden menyatakan puas terhadap kinerja pemerintahan di empat bidang pemerintahan, yakni politik dan keamanan (polkam), hukum, ekonomi, serta kesejahteraan sosial.

Angka tersebut tergolong sangat bagus dan memungkinkan Jokowi untuk tidak mengutamakan perimbangan politik dalam memilih cawapres.

Kalau begitu, apakah Jokowi harus memilih teknokrat muslim dan berlatar belakang sipil? Atau harus memilih perwakilan militer? Atau justru memilih perwakilan generasi zaman now seperti Agus Harimurti Yudhoyono?

Sejauh ini, berdasarkan survei berbagai lembaga, setidaknya kita bisa melihat nama-nama yang dinilai publik pantas menjadi cawapres Jokowi. Mereka adalah Muhaimin Iskandar, Hary Tanoesoedibjo, Tuan Guru Bajang, AHY, Mahfud MD, Jusuf Kalla, Sri Mulyani, Susi Pudjiastuti, dan Gatot Nurmantyo.

Di luar itu, ada pula kandidat yang mencalonkan/dicalonkan kelompok tertentu, seperti Chairul Tanjung. Berdasarkan kriteria teknokrat dan militer, kita bisa mempersempit nama-nama yang dimunculkan lembaga survei sebagai berikut: Sri Mulyani, Chairul Tanjung, Susi Pudjiastuti, Mahfud MD, Gatot Nurmantyo, dan AHY.

Jika faktor agama dan gender dimasukkan (isu pemimpin perempuan rawan diserang dengan dalil agama), maka tersisa Chairul Tanjung, Mahfud MD, Gatot Nurmantyo, dan AHY.  AHY tetap saya masukkan sebagai kandidat kuat karena 3 hal. Pertama, popularitasnya melejit. Survei terbaru Charta Politika menunjukkan AHY termasuk cawapres terpopuler di Pulau Jawa.

Kedua, dia masih lebih dikenal sebagai pensiunan militer, putra SBY, ketimbang politikus Partai Demokrat. Ketiga, walau sudah berstatus pengurus partai, AHY bukan berasal dari partai koalisi. Jika Jokowi memilih AHY, otomatis Demokrat -salah satu partai terbesar saat ini- akan memperkuat koalisi partai pemerintah.

Mengenai Chairul Tanjung, saya sudah pernah membahasnya di sini dan di sini. Pilpres 2019 akan berwarna seandainya Jokowi benar-benar meminang CT selaku cawapres. Adapun Mahfud MD, kita tahu, cukup populer sejak menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. Dia dikenal sebagai tokoh yang bersih dan dibesarkan dalam keluarga NU. Orang-orang NU pasti akan berjuang keras mendukung Mahfud MD seandainya dia dipilih sebagai pasangan Jokowi. Mahfud sendiri pasti tak canggung berbicara mengenai isu agama.

Bagaimana jika SBY memilih AHY? Wah, tentu akan menjadi kejutan dan mungkin mengakhiri ketidakcocokan antara SBY dan Megawati Soekarno Putri, dua tokoh bangsa yang kontribusinya sudah jelas terhadap NKRI. Kedua, kita akan memiliki pasangan pemimpin yang sama sekali lepas dari beban sejarah masa lalu. Mereka berdua tak pernah terlibat dalam tikungan-tikungan sejarah yang meninggalkan luka bagi bangsa kita: 65 dan 98.

Bagaimana dengan Gatot Nurmantyo? Bukankah dia punya modal kuat karena termasuk cawapres terpopuler di lembaga survei, dekat dengan kelompok islam, eks Panglima TNI?

Kita akan bahas dalam artikel selanjutnya. Selamat sahur, lur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun