Presiden Joko Widodo mungkin tengah galau menentukan calon wakil presiden yang akan mendampinginya pada Pilpres 2019. Dari jauh, Pak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang sudah terlebih dahulu mengalami momen ini pada tahun 2009, mungkin mbatin "I Feel You Bro".
Sebelum memilih figur, tentu saja Jokowi harus menetapkan kriteria cawapresnya. Kriteria itu setidaknya mencakup elektabilitas, pengalaman birokrasi, persamaan visi dan ideologi, dan yang tak kalah penting adalah akseptabilitas si calon di seluruh partai koalisi pemerintah.
Nah, di sinilah dilemanya. Partai koalisi pemerintah saat ini sedang berlomba-lomba menaikkan posisi tawar dengan menyorongkan ketua umumnya sebagai cawapres. Partai Golkar menawarkan Airlangga Hartarto, Partai Kebangkitan Bangsa terus mendorong Muhaimin Iskandar, dan Partai Persatuan Pembangunan memilih Romahurmuziy.
Mungkin, agar terhindar dari jebakan buah simalakama, Jokowi bisa mempertimbangkan strategi SBY pada Pilpres 2009, yakni memilih cawapres dari luar partai politik alias seorang teknokrat. Ketika itu, SBY dengan cerdik memilih Boediono yang merupakan Gubernur Bank Indonesia. Meskipun, harus diakui, kondisi SBY dan Jokowi memiliki beberapa perbedaan signifikan saat penentuan cawapres tersebut.
Dalam kasus Jokowi, memilih kandidat yang bisa diterima semua partai koalisi merupakan satu hal saja. Faktor lain yang tak kalah penting adalah cawapresnya harus bisa mewakili kelompok yang selama ini dianggap berseberangan dengan Jokowi. Yup, siapa lagi kalau bukan kelompok islam garis keras. Jokowi yang sering dicitrakan sebagai "abangan", membutuhkan pasangan yang bisa diterima di kelompok islam mana pun. Atau minimal tak ada yang meragukan keislamannya.
Hal ini belajar dari pengalaman Pilpres 2014 di mana Jokowi dibombardir dengan isu agama, ras, ideologi, sampai personal keluarganya. Kedua, apa lagi kalau bukan pengalaman Pilgub DKI Jakarta di mana Anies-Sandi yang didukung kelompok islam berhasil menumbangkan Ahok.
Keleluasaan Jokowi dalam memilih pasangan tentu juga akan sangat dipengaruhi oleh tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahannya. Survei Litbang Kompas pada 21 Maret-1 April 2018, bertepatan dengan 3,5 tahun pemerintahan berjalan, menunjukkan, 72,2 persen responden menyatakan puas terhadap kinerja pemerintahan di empat bidang pemerintahan, yakni politik dan keamanan (polkam), hukum, ekonomi, serta kesejahteraan sosial.
Angka tersebut tergolong sangat bagus dan memungkinkan Jokowi untuk tidak mengutamakan perimbangan politik dalam memilih cawapres.
Kalau begitu, apakah Jokowi harus memilih teknokrat muslim dan berlatar belakang sipil? Atau harus memilih perwakilan militer? Atau justru memilih perwakilan generasi zaman now seperti Agus Harimurti Yudhoyono?
Sejauh ini, berdasarkan survei berbagai lembaga, setidaknya kita bisa melihat nama-nama yang dinilai publik pantas menjadi cawapres Jokowi. Mereka adalah Muhaimin Iskandar, Hary Tanoesoedibjo, Tuan Guru Bajang, AHY, Mahfud MD, Jusuf Kalla, Sri Mulyani, Susi Pudjiastuti, dan Gatot Nurmantyo.
Di luar itu, ada pula kandidat yang mencalonkan/dicalonkan kelompok tertentu, seperti Chairul Tanjung. Berdasarkan kriteria teknokrat dan militer, kita bisa mempersempit nama-nama yang dimunculkan lembaga survei sebagai berikut: Sri Mulyani, Chairul Tanjung, Susi Pudjiastuti, Mahfud MD, Gatot Nurmantyo, dan AHY.