Mengapa Gatot Nurmantyo tiba-tiba populer? Bagaimana peluang Romahurmuziy, Muhaimin Iskandar, Airlangga Hartarto, Agus Harimurti Yudhoyono, Chairul Tanjung, Mahfud MD, dan lain-lain?
Dari perspektif marketing, Gatot Nurmantyo mengalami "Tipping Point", meminjam istilah Malcolm Gladwell, ketika Aksi Bela Islam (ABI) pada Oktober 2016 (411) dan Desember 2016 (212) berlangsung di Jakarta. Gatot, ketika itu, secara terbuka menyatakan dukungan terhadap ABI, termasuk pembelaannya terhadap salah satu tokoh terkemukanya, Habib Rizieq Shihab. Sesudah itu, Gatot juga rajin safari mengunjungi tokoh-tokoh agama, yang merupakan manuver politik demi ambisinya menjadi presiden di Pilpres 2019.
Situasi politik di Jakarta, ketika itu, memang tengah gonjang-ganjing karena jutaan umat Islam menuntut Ahok dipenjara karena dianggap melecehkan Al Quran. Jumlah umat yang besar tersebut sampai-sampai memperlebar ancaman tak hanya kepada Ahok sendiri, tetapi juga kepada Presiden Joko Widodo.
Belakangan, seperti ditulis jurnalis berkebangsaan Amerika Serikat Allan Nairn di The Intercept "Trump's Indonesian Allies in Bed with ISIS-Backed Militia Seeking to Oust Elected President". Aksi Bela Islam dijadikan dalih oleh "Rekan-rekan Donald Trump di Indonesia...bersama para tentara dan preman jalanan yang terindikasi berhubungan dengan ISIS...untuk menjatuhkan Presiden Joko Widodo."
Ketika situasi negara dirundung ketidakpastian, godaan elite politik untuk menarik militer ke tengah pertarungan atau elite militer berinisiatif mengambil tindakan memang sangat besar. Hal semacam ini sudah kita lihat sejak orde lama, tepatnya pada 17 Oktober 1952, Angkatan Darat meminta Presiden Soekarno membubarkan parlemen.
Dalam kasus ABI, ada anggapan yang kuat di antara demonstran bahwa Panglima TNI berada di pihak mereka untuk melawan pemerintah. Ditambah lagi, informasi berupa teks, meme, dan poster terkait sikap Gatot Nurmantyo terhadap aksi 212 menyebar dengan sangat cepat.
Salah satu ucapan Gatot yang dianggap membela ABI adalah ketika menjadi menjadi bintang tamu di acara Mata Najwa dengan tema 'Menjaga Bhinneka' yang disiarkan Metro TV pada Rabu (2/11) malam WIB.
Menjawab pertanyaan Najwa Shihab tentang keterlibatan TNI dalam pengamanan demonstrasi yang dilakukan umat Islam pada 4 November 2016, Gatot menjawab:
"Nana, begini. Dalam konteks ini mari kita berpikiran positif. Bahwa yang akan melaksanakan demo itu adalah saudara-saudara kita sebangsa se-Tanah Air. Mereka, kata Kiai Abdul Mu'ti tadi, tidak punya tempat di Mata Najwa. Sehingga mereka di jalan raya, ke Istana (Negara). Jadi kita berpikiran positif," kata Gatot.
"Kemudian kita mengawal, TNI turun BKO (bantuan kendali operasi) kepolisian, kita mengawal agar saudara yang menyampaikan aspirasinya itu tercapai. Dengan tenang, tertib menyampaikan, sehingga mereka mematuhi aturan yang disampaikan Pak Kapolri."
Berdarkan sudut pandang politik populis, manuver Gatot Nurmantyo adalah langkah cerdas dengan memanfaatkan momentum ABI untuk meraih dukungan umat islam. Kedua, Gatot dianggap sebagai antitesis Presiden Jokowi, walaupun saat itu Gatot masih menjadi bagian dari pemerintah.
Apalagi, saat Jokowi sedang semangat membangun infrastruktur dan melonggarkan aturan Tenaga Kerja Asing, Gatot justru mengembuskan isu Kebangkitan Komunis atau Komunis Gaya Baru. Menakut-nakuti orang bahwa penduduk pribumi Indonesia bisa punah karena migrasi penduduk asing, terutama dari Cina. Sebelumnya, dia juga aktif mempromosikan tesis bahwa Indonesia terancam menjadi "Proxy War" kekuatan asing.
Kalau dilihat secara lebih kritis, isu-isu yang digoreng Gatot sebenarnya tak lebih dari retorika belaka. Misalnya, kalau betul pribumi terancam punah, apa yang akan dia lakukan? Kalau betul Indonesia terancam jadi "Proxy War", siapa pelakunya?Negara mana? Apa yang akan dan sudah dia lakukan untuk mencegahnya selama menjadi Panglima TNI? Kalau betul ada Komunisme Gaya Baru, mana orang/kelompoknya?
Politik populis ala Gatot, meminjam istilah Made Supriatma, adalah tipuan yang tampak radikal namun tanpa isi dan visi sama sekali. Politisi populis dengan sangat cerdik mengeksploitasi kemarahan dan rasa frustrasi dalam masyarakat, tapi tidak mampu menawarkan solusi.
Mereka menyalurkan kemarahan ini menjadi kebencian kepada 'yang lain.' Alih-alih memberikan imajinasi tentang kebahagian dari sebuah masyarakat ideal, para politisi populis memainkan perasaan terancam (insecurity) dari rakyat kebanyakan. Mereka menanamkan ketakutan, bukan harapan.
Satu-satunya yang mereka tawarkan adalah kebencian, terutama untuk membenci mereka yang berbeda. Itulah sebabnya, para politisi populis sangat mahir memainkan politik identitas.
Meminjam penjelasan Made Supriatma, populisme bisa diartikan secara sederhana sebagai sebuah gerakan politik dari rakyat biasa untuk melawan kaum elite yang mapan (the establishment). Dalam pengertian yang sederhana, populisme adalah gerakan massa-rakyat yang tidak berdasarkan kelas, melawan segelintir elite penguasa mapan dan korup. Penguasa yang tidak demokratis serta hanya mementingkan diri sendiri.
Sayangnya, masih kata Supriatma, populisme adalah gerakan yang ironis. Sementara ia mengutuki para elite mapan, gerakan ini biasanya dimotori oleh kaum elite juga. Mereka memobilisasi massa dengan janji-janji akan meruntuhkan kekuasaan kaum mapan.
Jika diperhatikan, sebagian besar retorika para agitator populis kanan ini selalu berusaha menumbuhkan perasaan sebagai korban dari para pendengarnya. Perasaan sebagai korban ini memperdalam kefrustrasian dan kemarahan pendengarnya.
Sama seperti di tempat-tempat lain, para politisi dan agitator populis kanan tidak menawarkan ide atau imajinasi apa pun untuk keluar dari rasa frustrasi dan kemarahan ini.Â
Apakah Anda merasakah hal yang sama ketika mendengar pernyataan-pernyataan Gatot?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H