Pada awal hari-hari pandemi, masyarakat cukup lama absen mendengar sapaan khas "Pintu teater satu  telah dibuka...." dari gedung bioskop. Semua paham saat itu bahwa berkumpul bersama banyak orang dalam ruangan tertutup dengan AC disinyalir menjadi salah satu sumber penyebaran virus Covid.Â
Sebagai generasi pecandu layar lebar, saya sudah menonton sekitar dua ribuan judul film, jumlah gabungan dari nonton di bioskop, bioskop alternatif, dan layanan streaming atau pemutar pribadi di rumah. Buat sebagian orang jumlah ini lumayan gila, tapi buat kaum gila film, ini masih kurang gila. Orang seperti ini bahkan termasuk Anda mungkin, yang sering bela-belain begadang, atau menembus hujan dan macet demi menonton film favorit? Juga selalu ada film bagus meskipun tidak baru, dan (biasanya) selalu ada film baru setiap minggu hadir di bioskop kesayangan.
Belasan tahun saya juga terbiasa mengumpulkan tiket bioskop. Sebagian malah sudah lusuh dan hilang teksnya. Dulu tiket-tiket itu semacam menjadi tanda identitas khusus. Semakin banyak nonton film dari berbagai tahun, genre, asal negara, akan semakin meneguhkan klaim status  sebagai penonton film yang cerdas, kritis, dan kaya referensi, atau yang sering disebut-sebut sebagai '(wo)man of culture'. Saya sering memiliki sumber referensi dan standar sendiri dalam menilai dan membicarakan film. Saya tetap nonton film-film populer, namun saya juga nonton film-film yang kurang dikenal masyarakat umum.
Siapa sangka, sebuah  skenario film horror bernama pandemi justru meluluh lantak budaya nonton film konvensional. Semua orang terkejut dan menghindari nonton di bioskop. Sesuatu yang saya kira esensial buat hidup dan identitas, ternyata tidak demikian lagi.
Situasi ini membuat saya memaknai bahwa budaya nonton film itu tetap merupakan sebuah tradisi, namun ada budaya-budaya lain sifatnya superfisial saja. Misalnya budaya nonton premiere alias hari pertama film, yang biasanya dilakukan penggemar berat sebuah franchise film atau aktor tertentu, sampai memesan tiket seminggu sebelumnya. Saat pandemi, mengumpulkan nyali buat duduk dua jam dalam bioskop sudah terasa seperti tantangan maut.
 Bioskop sebelum pandemi dikenal dengan kenyamanan nonton mewah karena dilengkapi berbagai teknologi audio dan visual megah, dan menggetarkan, dalam berbagai jenis studio bioskop yang kita kenal sebagai XXX IMAX, 3D, 4DX, velvet class, dan exclusive class lain-lain. Ternyata, hal-hal ini juga tak lebih dari gengsi semata. Tanpa layar IMAX, sebuah film tetap dapat dinikmati dari kursi atau kasur di rumah kita, dengan tidak mengurangi esensi sinematik dari film seperti jalan cerita, karakter tokoh-tokoh, skenario, dan penataan gambar serta suara yang tetap menjadi utama dalam menentukan kualitas sebuah film.  Â
Kini, setelah hampir tiga tahun sejak pandemi, kebiasaan menonton berubah. Layanan streaming berlangganan seperti Netflix, Disney +, HBO Max, Amazon Prime dan berbagai platform lainnya menjadi pilihan. Para distributor film-film baru juga mulai membiasakan diri agar dapat membawa filmnya di platform steaming. Tak hanya di rumah, orang bisa menonton film  dimana saja, dengan ponsel, tablet, maupun laptop.
 Demikianlah bagi yang menyadari dan merasakannya, bisnis perbioskopan belum dapat menemukan senjata atau inovasi agar dapat mencapai kejayaan seperti sebelum era pandemi. Sejujurnya, saya akan tetap kangen nonton film di bioskop. Ada kesan dan pengalaman khusus ketika kita bisa bersama-sama tertawa, kaget, sedih, nangis saat menyaksikan sebuah adegan film. Di bioskop, tak perlu malu untuk berekspresi sesaat sampai nangis sekalipun, tentu dalam batasan etika yang berlaku agar tidak mengganggu penonton lain. Hal-hal demikian sulit dirasakan dalam kadar yang sama, jika saya menonton film via alat elektronik.
Diiringi aroma popcorn yang menggoda di seantero ruangan, suasana kegelapan dan kekhusyukan dunia selama dua jam di bioskop membawa kita berpetualang ke dunia lain dalam gambar besar dan tata suara ciamik di layar. Bioskop adalah sebuah pintu ajaib menuju dunia magis dalam film, yang telah diciptakan sedemikian rupa. Rangkaian lengkap itulah yang membuat film bisa begitu disukai dan tak terlupakan.Â
Pada akhirnya, saya tetap dapat menikmati film meskipun dengan layar gawai dan speaker rumahan saja. Saat satu pintu (teater satu) tertutup, katanya selalu ada jalan lain yang terbuka. Berpisah sejenak dengan budaya perbioskopan, tidak sama dengan berpisah selamanya dengan film. Zaman selalu memberikan tantangan baru, namun film selalu bertahan, mencari cara dan medium baru dalam bertemu dengan penontonnya.
Jika dulu orang mungkin harus kompakan dengan teman-teman dalam memilih film, kini kita lebih leluasa dan praktis dalam menentukan mau nonton apa. Referensi tersedia berlimpah di internet, dan banyak sekali kemudahan mengakses serta membayar film via aplikasi streaming VOD, GooglePlay store, atau bioskop daring. Tak perlu lagi terjebak macet dalam perjalanan menuju lokasi bioskop, khawatir terlambat atau kehabisan tiket, dan susah payah naik tangga dalam kegelapan sambil mencari lokasi kursi. Meskipun teknologi seadanya, kita bisa nonton kapan saja dan pencet pause kapan aja kalau mau ke toilet. Jika ada bagian film yang membingungkan, tinggal dimundurkan untuk memutar ulang adegan tertentu. Kita bisa nonton sambil makan kreasi cemilan apapun, tanpa harus kena razia.
Bioskop-bioskop era pandemi berusaha bertahan dengan memutarkan beberapa film yang tak seluruhnya baru, namun membatasi jumlah penonton, mengutamakan tiket elektronik, mempersilakan penonton menyobek tiket sendiri, dan melarang makan minum saat film diputar. Kini, bioskop telah kembali beroperasi dan orang-orang telah kembali ke bioskop untuk menikmati film tertentu. Namun, budaya itu telah berubah. Bioskop tak lagi menjadi satu-satunya pilihan untuk menonton film baru.
Bagi pembuat film, ada keuntungan yang didapat dari pemutaran film tanpa bioskop. Jika biasanya ada film-film blockbuster Hollywood yang menjadi kompetitor untuk film lokal dalam memperoleh layar di bioskop, kini untuk sementara tidak ada lagi tantangan tersebut. Meski bias atau diskriminasi penjatahan layar tak lagi mendominasi, selanjutnya semua bergantung pada pembuat film, mau dikemanakan film yang telah dibuat? Mereka kini harus memikirkan bagaimana agar sebuah film bisa diakses oleh banyak orang dengan semudah dan seekonomis mungkin via berbagai fasilitas streaming atau unduhan legal.
Film masih akan menjadi bagian dari tradisi, memori, dan suara generasi kita. Â Ia akan selalu beresonansi dengan penonton, memberikan pandangan dan ekspresi yang membuat kita lupa akan kenyataan sejenak. Meski cara orang menikmatinya berubah, film belum mati. Perubahan budaya nonton terjadi seiring nasib dan kepentingan banyak orang di dalamnya. Sebagai penonton, kita mesti jangan melupakan sejarah, bahwa kebebasan menonton dan mengakses informasi itu masih mahal harganya. Dua puluh tahun lalu, bahkan tanpa pandemi, belum tentu kita bisa sebebas ini menonton film apa saja, dimana saja, kapan saja. Jadi, tetaplah menonton film dimanapun dan siapapun yang menemani, untuk melestarikan tradisi dan kebiasaan berbudaya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H